Seniman atau “seniman”? (11 September-2 Oktober 2011)
Harian KOMPAS, edisi Minggu, 11 September 2011. HALAMAN: 20
SALAH KAPRAH ISTILAH ”SENIMAN”
Joseph Beuys keliru. Bagi saya, tidak semua orang adalah seniman. Ada hasil pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang biasa yang mungkin mampu mencapai ”kualitas-kualitas seni”. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua orang (otomatis adalah/bisa menjadi) seniman. Seperti halnya tidak semua orang adalah dokter atau tidak semua orang adalah kiai dan tidak semua orang adalah pemain sepak bola atau tidak semua orang adalah pengacara. Seniman adalah sebuah profesi yang memiliki jalur tersendiri untuk mencapai statusnya.
Sudah cukup lama kata ”seniman” dipakai di sembarang waktu, di sembarang tempat, dan di sembarang keprofesian. Seakan-akan seniman adalah kata generik—bersifat umum dan oleh karena itu boleh semena-mena dimanfaatkan oleh siapa saja. Padahal, ”seniman” adalah sebuah istilah ”spesifik” yang sangat terikat dengan ”ukuran-ukuran suatu konteks, norma, ruang dan waktu”.
Para pesohor kita di televisi (entah itu penyanyi, pemusik, bintang film/sinetron, pelawak, presenter) belakangan ini gampang berdalih bahwa profesi yang dia jalankan identik dengan ”kesenimanan” (maka kita terpaksa harus menilai hasil pekerjaan mereka sebagai ”seni/art”. Aduh, gejala-gejala ideosinkretik macam begini sudah sangat keterlaluan). Maka, sering kita mendengar di layar kaca mereka sembarangan mengoceh, ”Yahh, namanya juga seniman, saya harus bisa melakukan peran ini, peran itu…” Atau ”sebagai seniman, saya menjunjung kebebasan.” Kekacauan seperti ini sangat membingungkan khalayak.
”Seniman” sering dimanfaatkan untuk ”pembenaran diri” dan dijadikan celah untuk ”berkelit” dari masalah. Dengan mengaku diri sebagai ”seniman”, tak sedikit para selebriti itu ”menerima pemakluman” dari masyarakat. Spektrum penggunaan kata ”seniman” yang lebar sekaligus rancu di arena budaya populer kita dewasa ini akhirnya membuat makna spesifik istilah ini semakin tercerabut dari akar historiografinya.
Perlu dipahami perbedaan makna antara ’seniman’ dengan istilah lain yang dalam proses neologismenya diandaikan bermakna sama, misalnya: ’selebriti’, ’penyanyi-biduan’, ’pelawak’, ’aktris’, ’aktor’, ’musisi’, ’dramawan’, ’pelaku seni’, ’pekerja seni’, ’pelaku teater’, ’penyair’, ’sastrawan’, ’cerpenis’, ’novelis’, ’budayawan’ serta kata-kata bentukan keprofesian lain yang bersinggungan dengan urusan ’seni’ dan ’budaya’ yang kemudian disinonimkan dengan ’seniman’.
Pertanyaannya, apakah semua istilah itu sinonim dengan ’seniman’? Apakah ’seniman’ bisa menggantikan secara otomatis seluruh istilah keprofesian tersebut? Tentu tidak.
Kalau tidak, lalu apa dan siapakah ”seniman” itu? Apakah batas-batas yang bisa diberlakukan terhadapnya?
Dari S Sudjojono
Istilah ”seniman” tidak turun tiba-tiba dari langit. Orang yang pertama kali memopulerkan istilah ”seniman” adalah sang Bapak Seni Lukis Modern Indonesia: S Sudjojono (1913-1986). Istilah ini sudah mengemuka pada akhir 1930-an di dalam tulisan-tulisan S Sudjojono tentang seni lukis Indonesia. S Sudjojono mengakui bahwa istilah ”seniman” ini pertama kali diusulkan oleh Ki Mangun Sarkoro—mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1949-1950).
Dengan kata dasar ’seni’, maka ”seniman” adalah seseorang yang mengerjakan, menciptakan karya —yang hasilnya nanti disebut—seni. Definisi ini ternyata tidak cukup memadai.
Dalam bukunya Seni Loekis, Kesenian dan Seniman (1946), S Sudjojono menyarankan sejumlah ”syarat tambahan” agar seseorang pantas disebut ”seniman” atau ”tidak”. Antara lain ia mengatakan bahwa kerja seorang ”seniman” tidak semata-mata berurusan dengan soal ”kecakapan” dalam soal teknis saja (misalnya menggambar atau melukis). Lebih dari itu, untuk menjadi ”seniman yang baik dan benar”, kata S Sudjojono, seseorang itu harus memiliki watak dan jiwa yang besar (sebab seni adalah jiwa tampak, katanya).
Setuju atau tidak dengan ”syarat S Sudjojono” itu, sekurangnya kita bisa menilai bahwa itulah kali pertama anak bangsa ini mendefinisikan ”seniman”, diformulasikan lalu dipopulerkan. Sekalipun sudah cukup lama, dasar-dasar pengertian yang pernah dibangun oleh S Sudjojono ini kenyataannya masih relevan dengan situasi zaman kita sekarang. Dengan definisi itu, kita, misalnya, bisa menilai mana ”seni yang medioker” dan ”mana yang bukan”; mana yang pseudo art dan mana yang sungguhan.
Penting diketahui bahwa ”seniman” dimanfaatkan oleh S Sudjojono untuk menggantikan istilah ’artist’, ’kunstler’, ’kunstenaar. Pada akhir 1940-an, sang proklamator seni lukis Indonesia inilah yang kemudian menciptakan istilah ’pelukis’ sebagai pengganti kata ’schilder’. Ia juga orang yang berhasil menasionalkan istilah ’atelier’, ’workshop’ atau ’studio’ dengan kata ’sanggar’ yang masih kita gunakan sampai sekarang.
Masih terkait dengan diskusi ini, S Sudjojono sendiri mengklasifikasi perbedaan ’pelukis’ dengan ’seniman’ secara definitif. Menurut dia, seorang ’pelukis’ tidak bisa mematut diri sebagai ’seniman’. Dengan begitu, posisi ’seniman’ ditempatkan S Sudjojono lebih tinggi secara hierarki ketimbang ’pelukis’ (hierarki ini juga berlaku di Barat, yaitu batasan antara painter dengan artist). Seniman besar seperti Affandi bahkan selalu merendah: ”Saya ini hanya tukang gambar”. Seperti halnya S Sudjojono, Affandi juga memandang tinggi status seniman. Menjadi seniman adalah proses. Dan, peran publik tak kalah penting dalam proses tersebut.
Jangan mengaku ”seniman”
Menurut saya, andaikata Anda ternyata seorang ’penari’, lafalkan saja keprofesian ini dengan istilah ’penari’. Apabila Anda adalah seorang ’rockstar’, sebutkan saja diri Anda sesuai dengan kodrat
yang memang disediakan oleh ranah keprofesian tersebut. Andaikata Anda pemain sinetron atau film, biasakan saja secara konsisten menyebut diri sebagai: ’aktor’ atau ’aktris’ (bukan ’artis’ sebagaimana yang disalahkaprahi selama ini).
Nah, silakan melacak sendiri ”sejarah keprofesian” masing-masing di Tanah Air. Barangkali saja Anda berhasil menemukan istilah-istilah ’lokal’ yang ’khas’ dan ’pas’ yang sesuai dengan konteksnya. Pada zaman kolonial, saat itu pemuda seperti S Sudjojono, sudah memberi teladan yang baik.
Mari belajar menjunjung keprofesian.
Aminudin TH Siregar
Dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB)
*******
Harian KOMPAS, edisi Minggu, 18 September 2011. HALAMAN: 20
SALAH KAPRAH YANG JADI SALAH PARAH (Respons untuk Aminudin TH Siregar)
Aminudin Th Siregar tentu tidak keliru menuliskan bahwa telah terjadi salah kaprah istilah ”seniman”, namun menjadi sangat keliru menyatakan hal itu di negeri ”salah kaprah” macam Indonesia ini. Betapa tidak? Di negeri ini begitu banyak istilah (sebagian besar berasal dari asing) yang diterjemahkan, ditafsir selanjutnya diartikan kemudian dimengerti dan dipahami secara brutal serta membabi-buta alias sekenanya.
Jangankan istilah dalam kesenian dan atau kebudayaan–salah satu segi kehidupan berbangsa yang belum pernah dianggap serius di Indonesia—di bidang politik, hukum, ekonomi, dan lainnya pun akan segera kita temui dengan mudah begitu banyaknya salah kaprah terjadi. Sebutan ”asas praduga tak bersalah” bagi tersangka pelaku kejahatan/kriminal adalah salah satu contoh besarnya. Bagaimana mungkin seseorang yang dicurigai selanjutnya ditahan karena perbuatan salahnya tidak boleh dianggap bersalah?
Aminudin telah memberi paparan cukup lengkap tentang ”seniman”. Sedikit menambahkan: artist atau artis cenderung dilekatkan pada profesi kesenian yang populer dan atau ditelevisikan (pesohor; penyanyi, pemusik, bintang film/sinetron, pelawak, presenter dst). Lebih hebatnya lagi, mereka adalah selebritas. Ini pasti bentuk salah kaprah yang salah parah! Sementara orang dengan profesi sama, penyanyi di kafe misalnya, belum boleh menyebut dirinya sebagai artis. Atau pemain teater, penari, pelaku seni tradisi namun belum masuk televisi sebutan maksimalnya hanyalah pekerja seni. Masih sedikit lebih beruntung perupa, pelukis, penyair, dan semacamnya (pekerja seni yang otonom), mereka boleh berbangga dengan sebutan sebagai seniman, apa pun kualitas kesenimanannya.
Namun sebelum bercerewet soal istilah seniman, akan lebih bijaksana jika seandainya Aminudin menjelaskan terlebih dahulu istilah ”kurator” (cabang profesi di dalam kesenian yang penamaan istilahnya masih relatif baru dikenal di Indonesia, setidaknya jika dibandingkan dengan sebutan seniman) kebetulan pula profesi itulah yang dilakoninya selama ini.
Dan, karena ia belum melakukannya, maka saya memberanikan diri mencoba menemukan salah kaprahnya. Saya mulai dengan mencari tahu apa arti kurator. Kamus Inggris-Indonesia karya John M Echols dan Hassan Shadily menyebutkan; curator /kyu’reit?r/ kb. kurator, kepala (of museum). Penjelasan ini tidak memuaskan, maka saya membuka kamus yang lainnya yakni:
Yang terakhir, Mikke Susanto dalam Diksi Rupa: Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa, secara panjang dan lebar menjelaskan; Kurasi berasal dari curation, dari kata ini berkembang kata curate, curator, dan curatorial(Ing), yang kemudian dalam bahasa Indonesia disamakan dengan kurasi, kurator & kuratorial. Dalam ”Webster New 20th Century Dictionary”, curation berasal dari cura, curatum (Lat.) ”menjaga, merawat, atau seseorang yang menjaga/memelihara, memperhatikan, dan mengawasi segala sesuatu seperti kepustakaan umum, museum, koleksi seni rupa atau sejenisnya”.
Istilah curator dalam The Concise Oxford Thesaurus (1995) mengacu pada keeper, custodian, conservation, guardian, caretaker, steward yang dapat diartikan orang yang menangani pekerjaan yang berhubungan dengan memelihara, memperhatikan, menjaga, membenahi, sampai menyuguhkan kembali sesuatu artefak/obyek. Persoalan kurasi ini memiliki berbagai aspek yang tidak mudah. Kerja kurasi memerlukan pengetahuan kuratorial (curatorial knowledge) berupa pengetahuan atau pemahaman akan benda-benda (artefak) yang dipamerkan. Sementara secara menyeluruh tugas kurator adalah memberi jasa perencanaan dan pelaksanaan suatu pameran seni rupa, yang di dalamnya selain praktik pameran, juga dapat membangun wacana representasi seni yang dibuat. Dasar-dasar kurasi inilah yang nantinya dapat mencerminkan kondisi situasi, visi, dan misi serta citra yang akan dibangun dalam pameran. Orang yang bekerja mengerjakan kurasi disebut kurator.
Kurator
Nah, adakah profesi kurator di Indonesia sudah menyerupai rumusan itu? Seingat saya, penyebutan kata ”kurator” di Indonesia dimulai oleh Jim Supangkat sekitar akhir dekade 1980-an atau awal 1990-an. Ketika itu, ia menyebut dirinya sebagai Independent Curator dalam setiap tulisan, aneka pekerjaan seni rupa termasuk pameran yang ia gagas dan kerjakan serta juga tercetak jelas pada kartu namanya. Tentu yang ia maksud adalah kurator yang tidak bekerja pada satu museum atau satu galeri saja. Karena pada saat itu istilah ini belum populer di Indonesia dan kalaupun dikenal, biasanya cenderung melekat pada kata museum atau semacamnya. Curator of… misalnya.
Celakanya, semenjak saat itu siapa pun yang membuat tulisan tentang seni rupa lantas merasa sudah, setidaknya rindu untuk di sebut sebagai kurator. Padahal ada hierarki (meski bukan kasta), mungkin lebih tepat kategori penulisan. Mulai dari reporter atau jurnalis yang sifatnya melaporkan suatu kegiatan seni rupa. Ada pengamat yang tulisannya berupa hasil pengamatan terhadap seni rupa. Ada pula kritikus yang memberikan kritik kepada perupa, seni rupa, dan atau peristiwanya. Selanjutnya masih ada penulis yang membuat sebuah pengantar atau mencoba membaca karya seni rupa pada suatu pameran, peneliti yang tugasnya tentu saja mencatat hasil penelitiannya, esais yang bikin karangan subyektif membahas suatu permasalahan seni rupa, dan seterusnya dan seterusnya. Hingga ke kurator yang gugus tugasnya sangat tidak sederhana dan tidak sesederhana sebagaimana saya sebut di muka itu.
Dengan kata lain, jangan buru-buru menyebut seseorang sebagai kurator hanya karena ia bisa atau biasa menulis sebuah artikel tentang seni rupa. Apalagi sebutan kurator tidak hanya melekat di bidang seni saja. Kita mengenal sebutan semacam pada dunia saham, bursa efek, balai lelang nonseni, museum (tidak harus seni) juga pada kepustakaan, perguruan tinggi, serta kepailitan sebagaimana dijelaskan di atas.
Maka sesungguhnya masih banyak kurator seni rupa di Indonesia ’belum cukup kurator’ berdasarkan uraian subyektif ini. Dalam pengertian saya, seorang kurator haruslah cerdas bukan sekadar tampak cerdas. Ia wajib menguasai curatorial knowledge sebagaimana dituliskan oleh Mikke Susanto. Selain itu, karena tugasnya memilah dan memilih untuk kemudian menamai/menandai/menengarai sekaligus menyajikannya kepada publik, maka ia harus mencerdaskan masyarakatnya, bukan seperti kata Enin Supriyanto (dalam sebuah wawancara yang termuat pada Politik dan Gender Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Cemeti 2002) ”…kurator masih terjebak pada elitisme akademis. Seharusnya fungsinya apresiasi.” Sementara itu, Oei Hong Djien (OHD) di buku Paradigma dan Pasar Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia mengatakan bahwa, ”…katakanlah pengamat ekonomi. Kalau kita lihat, pengamat itu sudah membawa kestabilan. Kalau Syahrir atau Kwik Kian Gie menulis, saya pasti baca…wah seharusnya di kritik seni juga begitu. Tetapi sering juga bahasanya terlalu susah untuk awam. Jadi kurang simple.”
Jika si OHD saja masih kesulitan membaca apa maksud tulisan sang kurator, Anda bisa membayangkan bagaimana pembacaan oleh orang awam yang seawam-awamnya? Seharusnya pula seorang kurator juga menguasai atau paling tidak mengerti atau minimal tidak bodoh-bodoh amat soal sejarah, antropologi, psikologi, dan disiplin ilmu penunjang lainnya. Kenapa semua itu diperlukan? Jelas, karena peran seorang kurator sangat penting dalam sebuah dan kadang banyak peristiwa seni rupa hari ini. Ialah yang akan menentukan ’merah-hitamnya’ perkembangan seni rupa. Bahkan, ia bisa menjadikan from zero to hero atau sebaliknya. Rasanya hampir tidak ada sebuah pameran besar atau kecil di zaman serba kontemporer ini yang tidak membutuhkan jasa kurator lagi. Balai lelang atau bursa atau dol-tinuku lukisan yang selama ini masuk dikotomi pasar bukan wacana sekalipun membutuhkannya. Pendek kata, kurator sangat vital! Barangkali analoginya adalah DJ dalam sebuah party!
Saya membayangkan seandainya kurator Indonesia mampu membuat teori baru hasil pengamatan dan penelitiannya terhadap aneka peristiwa seni rupa dan yang meliputinya, agar kelak dapat menjadi referensi generasi berikutnya. Sebagaimana telah diteladankan oleh S Sudjojono. Bukan sekadar mencomot sana-sini teori dari bacaan populer (biasanya berbahasa asing) yang kadang malah dipaksakan menyenirupa padahal bukan.
Terakhir; moral tulisan ini bukan sekadar berbalas-pantun apalagi mencereweti kembali Aminudin Th Siregar, melainkan mencoba mendudukjelaskan profesi agar dijunjung dan tidak disalahpahami apalagi disalahkaprahi sekaligus disalahparahi.
Yuswantoro Adi
Perupa (semoga sudah seniman) tinggal di Yogyakarta
*******
Harian KOMPAS, edisi Minggu, 02 Oktober 2011. HALAMAN: 20
SENI(MAN) DALAM ”LIGA SENI” (Polemik Soal Etik dan Profesi)
Menarik menyimak wacana seputaran etik dan profesi kesenimanan yang dikumandangkan baik oleh Aminudin TH Siregar maupun Yuswantoro Adi di harian ini, dua pekan lalu. Label ”seni” dan juga ”seniman”, termasuk pula label profesi yang lekat dengan ragam seni yang diempu seseorang, seperti kurator dan lain-lain, di negeri ini memang tidak selamanya segaris dengan kecakapan ideal yang bisa ditagih publik.
Banyak parameter kausalitas yang memuarakan kenyataan; betapa di negeri ini sering kali muncul keajaiban atas nama seni, pun atas nama profesi berlabel seniman, begitu mudah seseorang populer walau memiliki bakat dan pengetahuan seni yang terbatas—untuk tidak menyebut minim bakat. Bahkan, lebih sering pula, sekali lagi karena popularitas yang melangit itu, pengonsumsi kerja profesi seni pun bersedia antre untuk bisa menikmati karya dan jasa kerja profesinya tersebut. Entah, ia diaku seniman ataupun kurator, di negeri ini sering lahir keajaiban.
Aneh, ajaib, tetapi sama sekali tidak lucu bahwa tradisi kritik yang kritis dan bernas tidak memasuki ruang-ruang serba ajaib ini. Kepopuleran bukan dipandang sebagai keniscayaan hukum kerja, di mana populer merupakan sebab akibat dari kecakapan ideal dan cakupan faedah publik atas profesi yang lekat pada diri seseorang, melainkan lebih dipercaya sebagai ruang pencitraan yang bisa dikonstruksi peranti dan ritmenya.
Mengurai sengkarut kondisi ini, sepertinya bukan atau barangkali tidak sekonyong-konyong oleh ketidakdisiplinan memahami label-label profesi kesenimanan. Karena memang tidak mungkin bagi kita untuk melarang seseorang mencantumkan label ”seniman” di kartu nama mereka. Begitu juga, tidak mungkin kita melarang khalayak seni untuk tidak menonton panggung pameran seni visual, semata-mata karena berkeyakinan bahwa kurator dari pameran tersebut bukan kurator sungguhan.
Budaya sanding budaya tanding
Dunia kesenian dan kesenimanan, sebagaimana sempat dilontarkan kurator seni rupa Edy Soetriyono, adalah dunia dengan lapis-lapis kasta. Artinya, derajat kualitas dari pencapaian seorang perupa, pun kurator, pastinya bertingkat-tingkat. Kasta berbasis kualitas capaian, menurut saya, memang harus ada dalam jagat kesenian. Jika tidak, dapat dibayangkan betapa rancu pemahaman kita tentang siapa perupa, siapa berpura-pura sebagai perupa, ataupun siapa yang layak disebut kurator. Medan kesenian membutuhkan kasta, atau dalam konteks yang lebih strategis kesenian membutuhkan ”liga seni”.
Liga seni yang dimaksud merupakan sirkuit yang tidak saja mengedepankan budaya sanding antarperupa juga kurator, melainkan tradisi tanding di antara mereka. Tanding dalam hal kualitas gagasan, capaian karya, dan juga konsep/visi pemikiran. Selayak liga dalam dunia sepak bola profesional, liga seni juga membutuhkan parameter nilai, berupa syarat minimal yang harus melingkupi kerja profesi seni yang dimaksud.
Liga seni dalam wataknya sebagai kluster profesi sesungguhnya sudah diperankan beberapa institusi penyangga seni rupa di Tanah Air, seperti beberapa museum dalam memilih karya koleksi, juga galeri-galeri dalam mengakomodasi perupa dan kurator dalam gelar pameran. Untuk perupa- perupa ”old master” sepertinya kelas mereka sudah dipahami bersama, sayangnya bagi perupa- perupa kontemporer kini, sepertinya masih terlihat kerancuan di sana-sini.
Liga seni bukan dalam pengertian sebagai kompetisi seni seperti biasa kita kenal. Liga seni lebih pada pemahaman sirkuit edar tingkat kualitas capaian dalam kurun waktu tertentu setiap institusi penyangga, baik itu perupa, kurator, galeri, arts space, museum, kolektor, kritikus, dan lain-lain. Bukankah sangat banyak perupa yang tiba-tiba berhenti atau stagnan dalam bergagasan? Kurator seketika miskin dalam berwacana. Galeri atau arts space yang menghentikan kegiatan seni. Bahkan, tidak jarang ada kolektor kemudian turun kasta jadi kolekdol. Dengan penurunan laku kesenian, tentu saja perannya di liga utama harus tereliminasi.
Jalan seni, jalan hidup
Sekadar bacaan. Bagi manusia Bali, sebelum label profesi disematkan oleh Raja Bali Kuno bernama Marakata kisaran tahun 1012 dengan menyurat pada prasasti Batuan, kesenian adalah sebentuk jalan hidup keseharian. Manusia Bali tidak pernah hirau untuk disebut seniman atau petani, yang pasti mereka melakukan kerja sehari-hari yang fungsional. Merancang rumah yang begitu artistik semata untuk memenuhi kebutuhan nyaman fisik dan psikis. Membuat arca, juga patung, berkait dengan rasa cinta kepada Sang Hyang Embang (Ia yang menguasai ruang kosong) atau Sang Hyang Widhi (Ia yang Mahapencipta). Semuanya dilakukan sebagai jalan hidup.
Setelah Raja Marakata menggariskan label-label khusus bagi profesi seni, semisal pelukis dengan label Citrakara, pemahat dengan label Culpica, dan lain-lain, profesi seni kemudian diakui sebagai profesi sah dengan lisensi raja. Oleh gelar profesional ini, para empunya memiliki hak istimewa dalam menerjemahkan seni susastra menjadi rupa gambar. Ia juga berhak memahat tempat suci dan lain-lain.
Profesi kesenimanan manusia Bali juga lekat dengan dunia mitos, yakni bagaimana kesenian
diyakini sebagai berkah keahlian yang diajarkan oleh dewa-dewa di surga kepada manusia. Dalam lontar Tantu Panggelaran, jelas disebutkan bahwa di awal manusia lahir dikisahkan bak binatang yang hanya bisa makan dan tidur. Para dewata gusar kalau hal ini berlangsung terus- menerus. Maka diutuslah dewa-dewa turun ke dunia untuk mengajarkan manusia berbagai keahlian. Brahma mengajarkan membuat senjata, Citra Gotra untuk spesialis perhiasan, Cipta Gupta untuk mengajarkan seni lukis, dan Wiswakarma untuk arsitektur.
Pendeknya dari dua kutub otoritas: raja dan mitos, manusia Bali diharuskan menghormati profesinya. Karena sekali tidak bertanggung jawab terhadap profesi, tidak saja telah mengkhianati otoritas raja dan mitos, tetapi sekali tepuk juga berarti meniadakan kehidupannya sendiri. Karena jalan seni adalah jalan kehidupan.
Moral value dari kisah tadi, segaris dengan etik profesi seorang perupa dan juga kurator, dan lain- lain dalam jagat seni rupa hari ini, yakni pertaruhan atas kehidupan makro kesenian. Sebelum seluruh hidup dipertaruhkan memang sudah seharusnya menguji keyakinan seberapa ronde kemampuan bertahan kita dalam liga seni nantinya. Menjadi penting menimbang kembali bahwa seni dan kesenian sejatinya adalah jalan hidup.
Wayan Kun Adnyana
Mahasiswa Program Doktor Pengkajian Seni Rupa, ISI Yogyakarta
[…] Kompas, Minggu, 11 September 2011, Salam Kaprah Istilah “Seniman”. Aminuddin TH Siregar menulis kritik terhadap penggunaan terma “seniman”. Dalam kritik […]