Seni Rupa Indonesia: Sakit atau Sehat? (22 Desember 2002-

Harian Kompas, Minggu, 22 Desember 2002, hlm: 18

Enam “Kesakitan” Seni Rupa Indonesia 2002
Oleh Mikke Susanto, pengamat seni rupa, tinggal di Yogyakarta

MENGGAMBARKAN sebuah catatan peristiwa tahunan atau aktivitas yang terjadi selama setahun terakhir kini menjadi satu pemetaan yang telah dianggap penting. Kajian seperti ini, mau tak mau, akan memberi gambaran yang lebih terjangkau untuk melihat seberapa jauh pohon- pohon seni rupa yang kita tanam, selebar apakah kawasan yang menjadi lahan garapan, jenis apa sajakah yang memiliki varietas yang unggul dan tidak, sekaligus mencoba memberi pemahaman mengenai pentingnya mengklasifikasi nilai-nilai di dalamnya selama ini.

Namun sayangnya, di sela-sela gemerlap dunia seni rupa yang kaya akan aktivitas, masih saja muncul “penyakit-penyakit”, dari “penyakit” kecil hingga gangguan akut. Gemerlap dan perayaan seni rupa tahun ini rasanya memang tidak jauh dari yang terjadi di tahun sebelumnya. Tahun ini masih diisi oleh pelbagai jenis karya, lomba, seniman (baik luar maupun dalam negeri), variasi konsep kurasi, dan pelbagai gejolak aksi jual beli karya seni-namun hanya sebagian kecil yang dapat dianggap sebagai aktivitas yang bermakna bagi perkembangan seni rupa Indonesia lebih lanjut.

Kesimpulan yang menunjuk pada pengertian dan keterkuakan “kesakitan” dalam tulisan ini lebih didasarkan pada efek korelasi yang muncul dari berbagai aktivitas tersebut. Sehingga kita tidak saja mencatat hal-hal yang menyenangkan, namun lebih pada bagaimana aktivitas yang dibuat oleh berbagai infrastruktur seni kita tidak cenderung mengalami stagnasi. Selain menjadi peta, tulisan ini lebih dimaksudkan untuk memulai perjalanan nilai-nilai yang lebih berarti, tidak asal tampil, dan berguna bagi keseimbangan idealisme, rasa percaya diri perangkat (art world) seni rupa kita.

***

KESAKITAN pertama dan utama yang tampak pada dunia seni rupa adalah dalam tataran wacana dan kritik seni rupa. Pangkal persoalan kesakitan ini adalah minimnya kesadaran untuk menciptakan kesadaran “pola dan aturan main” bagi berbagai perangkat seni rupa kita. “Pola dan aturan main” yang belum dibuat (dibuat masih dalam lingkup lokal) menimbulkan masalah besar ketika memasuki wilayah praktik: seperti bagaimana meladeni para pemalsuan lukisan, hak cipta/hak paten, persoalan harga-menghargai karya, atau sampai redupnya beberapa galeri-galeri seni rupa di Indonesia, dan keengganan beberapa pelukis untuk menunjukkan aktivitas secara total pada masalah di atas dapat dipakai sebagai contoh.

Tak pelak di tahun ini saja banyak muncul pergolakan kritik seni rupa mengenai “aturan main”. Kritik mengenai “aturan main” tersebut termediasikan dalam bentuk perdebatan yang lebih menggema pada persoalan kualitas pemikiran (baca kecerdasan) seniman dan perangkat seni rupa secara luas (baca polemik yang dimunculkan oleh Aminudin T. Siregar-Dwi Marianto dan Adi Wicaksono-Made Sukadana pada harian Kompas), atau sampai pada kritik mengenai persoalan diri/identitas yang tergadai karena tuna pola tersebut (munculnya peristiwa “Hegemoni Bali” oleh mahasiswa STSI Denpasar pada kelompok Sanggar Dewata Indonesia).

“Kesakitan” kedua, pergolakan masalah harga lukisan yang cenderung liar dimainkan oleh “simulator-simulator” pencari keuntungan semata, tanpa peduli kondisi dasar (dan idealisme) seni rupa kita sendiri. Kanvas-kanvas yang berharga milyaran tidak ditopang oleh identitas infrastruktur dan art world yang mumpuni sehingga yang muncul adalah pekerjaan-pekerjaan atau aktivitas yang “menyampah”. Buku-buku seniman yang dimunculkan dari aktivitas kerja seniman hanya berupa penampakan dokumentasi, tidak memberi satu terobosan menarik sebagai bagian dari menggiatkan kembali aktivitas kritik dan penelitian sejarah seni rupa secara simultan dan umum.

“Kesakitan” ketiga, kematian beberapa seniman/satrawan, antara lain Umar Kayam, Widayat, Otto Djaya, Nyoman Tusan, dan Mustika. Kematian sebagai “kesakitan” semacam ini sebenarnya adalah hal yang lumrah di mata siapa pun, namun ada problema serius yang menimpa kalangan yang ditinggalkan (baik seniman, keluarga, atau negara). Sebagai wujud dari akibat peristiwa semacam ini berkorelasinya dengan berbagai persoalan mengenai apa yang telah dibuat oleh para almarhum seniman tersebut. Bagaimana dengan kajian-kajian Umar Kayam (di seni rupa)? Sekalipun lebih terlihat sebagai sastrawan, namun beliau sekali waktu juga mencatat/meneliti perihal seni rupa. Bagaimana pula Museum H Widayat? Bagaimana karya-karya Otto Djaya dan Nyoman Tusan? Bagaimana wacana-tulisan Mustika selama ini? Semua masih menjadi pertanyaan.

“Kesakitan” keempat, kegelisahan dan rasa tak aman bagi seniman ketika menggelar karyanya. Di kala keterbukaan politik dan demokrasi mulai bergulir, masih saja ada aksi pelarangan dan gejolak kekerasan serta pemaksaan kehendak/persepsi pribadi di balik sebuah karya. Seniman sekalipun “diuntungkan dan dirugikan” dalam peristiwa seperti ini, mau tak mau mengalami gejolak dan menjadi orang yang tengah dilanda “kesakitan”. Kejutan itu di tahun ini antara lain dialami oleh Kedai Kebun Gallery Yogyakarta yang memuat foto karya Rama Surya berjudul Borneo, Air Mata Api yang dimuat pada buletin Halte-nya yang dianggap bermisi agama tertentu. Juga masih bertempat di Kedai Kebun Gallery ketika seniman Pius Sigit berpameran dengan tajuk “I Feel Fine, Thank You” dan puncaknya adalah pada pameran seniman Dadang Christanto di Bentara Budaya Jakarta. Kedua pameran tersebut mendapat ancaman dari sekelompok massa yang menuduh pameran tersebut membawa unsur ketelanjangan dan pornografi (?).

“Kesakitan” kelima, belum maksimalnya rasa percaya diri perangkat dan infrastruktur kita untuk mencoba menggali khazanah dan perbendaharaan kekayaan seni rupa yang telah ada. Contohnya adalah semaraknya pameran yang berbasis seni tradisi pada tahun ini, namun hanya beberapa yang memiliki nilai jauh melebihi catatan tahun sebelumnya (di antaranya yang menarik adalah pameran kriya “Contemporary Japanese Crafts: Material and Way of Formative Thinking” (Juli 2002) di Galeri Nasional Indonesia, pameran seni “Tali Ikat/Fiber Connections” yang berbarengan dengan “The 2nd Jogjakarta International Batik Competition & Festival” di Yogyakarta dan pameran “The Art of Bamboo” di Desa Nitiprayan, Yogyakarta, serta pameran seni serat di Galeri Lontar Jakarta dengan menampilkan lima seniman tapestri dari Bandung). Label “kontemporer”, “modern”, “tradisi”, “postmodern” seolah-olah masih saja menjadi pertarungan “tanpa ujung” yang seharusnya telah ditinggalkan.

“Kesakitan” keenam adalah kondisi negara yang telah lama tidak memunculkan situasi dan kondisi yang menguntungkan. Kondusivitas suasana dan keamanan negara bagi mereka para pelaku (misalnya galeri dan seniman seperti pada “kesakitan” keempat tadi) sering kali menjadi momok yang akut. Rasanya persoalan ini harus dilimpahkan pertama kali pada pengatur kebijakan politik negara, selanjutnya ditindaklajuti oleh perangkat seni itu sendiri, sampai akhirnya ke masyarakat.

***

PEMETAAN “kesakitan” semacam ini perlu digubah menjadi pangkal yang perlu diintip terlebih dahulu. Dari pemetaan “kesakitan” dalam tulisan ini satu hal yang perlu dilakukan adalah dengan memulai pekerjaan menyinergikan perangkat seni rupa kita (perupa-kritikus- galeri-kolektor/sponsor/negara) secara bijak dan bukan digerakkan hanya dengan tujuan jangka pendek dan pribadi. Problema-problema memang selalu ada, maka “aturan main” dan memupuk lebih giat lagi persolan self confidence serta sinergi perangkat seni kita adalah pekerjaan yang menanti kita di tahun depan.

 

/////////////////////////////////////////////////

Harian Kompas, Minggu, 12 Januari 2002, hlm: 18

Menuju “Kesehatan” Seni Rupa Indonesia
Oleh Arahmaiani, perupa

MEMBACA dan menyimak tulisan pengamat seni rupa Mikke Susanto- selanjutnya akan disebut MS (“Enam ‘Kesakitan’ Seni Rupa Indonesia 2002”, Kompas 22 Desember 2002) saya sebagai perupa merasa terpanggil untuk ikut menanggapi dan melengkapi pendapatnya. Pada pembuka kalimat dari tulisan yang dimuat di dua surat kabar itu (ini persoalan sendiri, adakah MS telah membuat “sindikasi” sehingga tulisannya dimuat dimana-mana?) dikatakan bahwa menggambarkan sebuah catatan peristiwa tahunan atau aktivitas yang terjadi selama setahun terahir kini menjadi satu pemetaan yang telah dianggap penting.

Namun, tampaknya pemetaan “kesakitan” yang dibuat MS lebih berfungsi sebagai sebuah sketsa peta, daripada sebuah peta yang semestinya sebab tidak menggambarkan secara rinci pemahaman menyeluruh dari wilayah yang dipetakannya. Sekalipun sudah dibantu dengan perumpamaan sebuah ladang yang ditanami berbagai jenis tumbuhan, permasalahan yang disebutnya sebagai “kesakitan” masih belum terkaji dengan baik, belum terlihat keenam poin yang diajukanya berkaitan satu sama lain sebagai sesuatu yang muncul dari sebuah kesatuan masalah (yang mestinya berujung-pangkal) sehingga mampu memberikan sebuah gambaran yang lebih komprehensif. Bagai sebuah analisa penyakit yang belum terdiagnosa dengan tepat dan lengkap ia tidak menawarkan hal dan pemikiran yang bisa menggugah pembaca untuk ikut berpikir dan mungkin mencarikan “obat” untuk menanggulangi kesakitan itu.

Berangkat dari perspektif saya sebagai praktisi saya akan mulai menanggapi dari poin “kesakitan” keempat.

Dikatakan bahwa aksi pela-rangan dan gejolak kekerasan serta pemaksaan kehendak/persepsi pribadi telah menimbulkan kegelisahan dan rasa tidak aman bagi seniman sehingga membuat mereka dilanda “kesakitan” masih terus berlangsung padahal keterbukaan politik dan demokrasi sudah bergulir. Selanjutnya diberikan contoh-contoh kasus yang menimpa beberapa seniman.

Saya kira poin ini mengandung permasalahan yang cukup serius dan harus diluruskan, analisanya kurang tepat dan kesimpulanya menjerumuskan. MS menggambarkan seolah-olah dalam situasi tersebut seniman “disakiti” sekelompok massa yang mana lalu menimbulkan “kesakitan” (maka kemudian seniman seperti harus “dilindungi” supaya merasa aman). Padahal menurut hemat saya dalam masalah ini sebetulnya keadaan terbalik bukan seniman yang mengalami “kesakitan” tapi masyarakatlah yang mengalaminya. Benar ia mengalami kegelisahan dan rasa tidak aman sehubungan dengan masalah yang dihadapinya namun apabila si seniman bekerja dengan serius-maksudnya sadar akan apa yang ia lakukan dan sadar ia berhadapan dengan masyarakat seperti apa maka ia semestinya sudah harus memperhitungkan resiko-resiko. Di sini seniman tidak dalam kondisi “kesakitan” malah berada dalam “kesehatan”. Jadi seniman tidak harus dilindungi dari rasa tidak aman dan kegelisahan sebab perlindungan macam itu hanya akan memandulkan kreativitasnya saja!

Sementara itu di sisi lain apa yang disebut sebagai keterbukaan politik dan demokrasi dalam hal ini oleh MS seperti dianggap sebagai sebuah barang jadi, ia bayangkan bagai sebuah mesin yang lalu akan otomatis berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin itu mimpi kita namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Kedua hal tersebut adalah sebuah proses yang harus terus menerus diupayakan dan didialogkan karena menyangkut orang banyak dengan kepentingan berbeda-beda. Dan dalam kenyataanya hal ini masih merupakan hal yang sulit dan alot bahkan terkadang macet sehingga tidaklah salah apabila hal ini dianggap sebagai pangkal dari segala kesakitan kita yang juga merupakan pangkal dari semua “kesakitan-kesakitan” dalam dunia seni rupa kita.

Selanjutnya dikatakan bahwa persoalan utama berada dalam tataran wacana dan kritik seni rupa. Yang dianggap sebagai pangkal dari kesakitan ini adalah minimnya kesadaran untuk menciptakan “pola dan aturan main” bagi berbagai perangkat senirupa kita. Lalu dihubunganya dengan masalah-masalah dimulai dari pemalsuan lukisan, hak paten, harga-menghargai karya, redupnya beberapa galeri, keengganan seniman untuk terlibat secara total dalam permasalahan hingga pergolakan kritik dalam bentuk perdebatan kualitas pemikiran seniman dan perangkat senirupa secara luas serta persoalan ketergadaian identitas. Nampaknya ada satu hal pokok yang teramat penting dan merupakan akar dari persoalan-persoalan di atas yang luput dari pengamatanya yaitu kemandegan dalam pewacanaan dan pemahaman perkembangan epistemologi yang akan memberikan arah penentuan nilai karya. MS hanya menangkap sindroma di permukaan saja dan ia langsung mendiagnosa gejala kesakitan lewat objek dan materi produksi dan lupa mencek biang keladi penyebab keadaan sakit tersebut. Kemiskinan kritik dan wacana senirupa kita telah menimbulkan keadaan tuna pola dan acuan-sampai sejauh ini belum mampu membangun sistem nilai sehingga kerap terjadi penilaian sebuah karya ditentukan oleh faktor- faktor “kekuasaan” di luar wacana epistemologi baik dalam bentuk nilai nominal maupun klaim tanpa dasar sehingga nampak bagai sebuah permainan tanpa “pola dan aturan main”.

Hal ini selanjutnya akan berhubungan erat dengan “kesakitan” kedua, ketiga, dan kelima.

Karena tidak ada pola dan acuan penilaian sebuah lukisan maka salah satu akibatnya adalah harga bisa dimainkan oleh “simulator- simulator” dengan liar dan semena-mena. Pelukis sering tidak berdaya dalam mempengaruhi harga dan cenderung dijadikan sapi perahan. Diperas tandas dan ditendang ketika sudah tidak dibutuhkan. Seperti ditegaskan oleh MS dan saya setuju dengan apa yang dikatakanya bahwa salah satu akibat dari situasi itu yang muncul adalah pekerjaan- pekerjaan yang “menyampah”. Buku-buku yang dimunculkan dari aktivitas kerja seniman hanya berupa penampakan dokumentasi, tidak memberi satu terobosan menarik sebagai bagian dari menggiatkan kembali aktivitas kritik dan penelitian sejarah seni rupa secara simultan dan umum.

Dalam hubunganya dengan “kesakitan” ketiga sehubungan dengan masalah peninggalan karya-karya (baik berupa tulisan, kajian maupun karya visual dan museum) almarhum Umar Kayam, Widayat, Mustika, Nyoman Tusan dan lain-lain. Adalah jelas menyangkut sikap penghargaan atas karya ciptaan tersebut dan bagaimana karya diposisikan dalam peta seni rupa kita. Sehingga perlu dikuakan, dikaji dan diapresiasi nilai dan makna dari karya-karya tersebut.

Demikian pula halnya dengan “kesakitan” kelima yaitu soal percaya diri perangkat dan infrastruktur seni rupa kita dalam usahanya menggali khazanah dan perbendaharaan kekayaan yang telah ada. Perangkat dan infrastruktur adalah sarana untuk memungkinkan seni bisa hadir dalam sebuah bentuk, ia serupa tubuh yang kemudian digerakan oleh jiwa. Dan kedua hal ini tidak akan pernah bisa menjadi maksimal dalam fungsinya kalau kita tidak mengenal dan mengerti rohnya. Baru sesudah roh, jiwa dan badan menyatu bisa diharapkan akan tumbuh kehidupan dan dinamika.

Begitu pula dengan perkembangan seni berbasis tradisi dimana MS menganggap pada umumnya nilainya tidak berbeda jauh dari tahun sebelumnya sekalipun ada beberapa pameran yang dianggap menarik oleh MS namun sayang tidak dijelaskan apa sebabnya. Pelabelan sekitar masalah “tradisi”, “modern” hingga “post-modern” mungkin tidak perlu namun debat dan pewacanaanya masih perlu dilanjutkan. Apa yang dibayangkan, dipahami dan berkembang sebagai seni berbasis tradisi hingga saat ini umumnya cenderung hanya mengolah seputar aspek visual/penampakan saja dan tidak menerapkan metoda pendekatan kritis. Padahal dalam dunia seni rupa tidak hanya aspek visual semata yang diolah dan dikembangkan (sekalipun dalam bahasa kita disebut seni rupa) ia juga berhubungan dengan hal yang bersifat bayang-bayang seperti gagasan, konsep, ataupun pemikiran filo-sofis serta memori- memori maupun harapan dan impian. Demikian pula di sisi lain dengan apa yang disebut tradisi ia bukan hanya produk fisik dan objek saja ia juga berupa produk nilai-nilai.

Mungkin ada baiknya kita kembali ke poin kesakitan keempat dan mencoba untuk memahami kasus-kasus yang menimpa beberapa seniman dan mengamati lebih jauh peran “tradisi” dalam dinamika dan interaksinya pada sebuah karya. Dalam kasus yang menimpa Dadang Christanto apa yang terjadi adalah perbenturan nilai dan gagasan seniman dengan apa yang dipercayai sekelompok masyarakat dan dianggap sebagai tradisinya (yaitu tradisi dalam urusan penghargaan tubuh dan ungkapan seni dengan tema ketelanjangan) yang kemudian diasumsikan “dilanggar” oleh si individu seniman. Sekalipun mungkin dalam kasus ini si seniman tidak bermaksud untuk melanggar apa pun (karena memang ia tidak hidup dalam tradisi itu) namun apabila melihat hasil interaksinya, ia boleh menyadari bahwa karyanya sebenarnya bersinggungan dan membawa “beban” elemen tradisi (dalam hal ini Islam) dan diposisikan secara kritis sehingga menimbulkan ketegangan. Saya tidak bermaksud untuk mengajak pembaca memberikan penilaian (judgement) dalam masalah ini namun mencoba untuk menggalinya secara lebih lanjut saja. Memang seni berbasis tradisi Islam belum banyak dibuat, penelitianya juga masih sangat minim dan yang dikembangkan dalam dunia seni rupa kita hingga sejauh ini kebanyakan juga cuma mengolah aspek visual saja seperti karya kaligrafi dengan tulisan Arab.

Akhirnya kita sampai pada “kesakitan” keenam yaitu kondisi negara yang tidak memunculkan situasi kondusif dan MS berpendapat bahwa persoalan ini harus dilimpahkan pada pengaturan kebijakan politik negara dan kemudian ditindaklanjuti oleh perangkat seni itu sendiri sampai ahirnya ke masyarakat.

Pada poin akhir inilah saya akan menghubungkan pangkal dan ujungnya. Seperti telah dikatakan di depan menurut pendapat saya proses demokrasi dan keterbukaan politik yang seretlah yang merupakan pangkal dari “kesakitan-kesakitan” dan menjadikan suasana tidak kondusif dan tidak aman sebagai ujungnya (dan ini terjadi sudah sejak lama bahkan sejak masa Orde Baru). Jadi dunia seni rupa kita sebenarnya besar dan tumbuh dalam suasana yang tidak menguntungkan, tapi kok bisa tumbuh terus? Dan sebenarnya dari dulu hingga sekarang ia tidak pernah mendapat dukungan yang berarti dari pemerintah dalam proses pertumbuhanya, tapi kok bisa berkembang terus? Apa sebetulnya yang bisa kita harapkan dari negara, kebijakan politik macam apa yang bisa membantu perkembangan lebih lanjut dunia seni rupa kita sedang untuk mengatasi masalah yang lebih rawan saja seperti kebangkrutan ekonomi ataupun krisis politik negara tidak mampu membuat pengaturan dan kebijakan untuk penanggulanganya ?!

Inilah analisa akhir yang kurang cermat dari MS-apakah ia tidak pernah tahu bahwa dunia senirupa kita tidak pernah bergantung pada negara. Ada faktor-faktor lain yang telah membuatnya hidup dan memiliki self confidence yang cukup seperti individu-individu seniman, kolektor dan sponsor maupun lembaga-lembaga non pemerintah yang mengambil inisiatif sendiri. Sebetulnya hal ini sebaiknya dijelaskan dengan serinci-rincinya oleh seorang pengamat sehingga usaha sinergi perangkat seni rupa maupun penanggulangan “kesakitan- kesakitan”nya bisa menjadi efektif, efisien, dan tepat sasaran. Kalau diumpamakan sebagai pekerjaan seorang dokter dan permasalahan seni rupa dilihat sebagai penyakit maka sebelum memulai penyembuhan penyakit sebaiknya dibuat dulu diagnosa yang tepat dan lengkap, lalu sesudah itu bisa dibuat preskripsi dan pengobatan untuk menuju kesembuhan.

/////////////////////////////////////////////////

Harian Kompas, Minggu, 19 Januari 2003, hlm: 18

Siapa yang Sakit, Kawan? (Tanggapan atas tulisan Mikke Susanto)
Oleh Yuswantoro Adi, pelukis, tinggal di Yogyakarta

SEDIH sekaligus hancur hati ini membaca pemetaan seni rupa Indonesia 2002 oleh Mikke Susanto di berbagai media massa. Setidaknya ada dua tulisan dari pengamat seni rupa kita yang dipublikasikan di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta dan di-kloning di Kompas Jakarta edisi Minggu 22 Desember 2002-tentu saja dengan susunan paragraf, formulasi kalimat, dan judul sedikit berbeda, tapi substansinya persis sama, yakni menggambarkan “kesakitan” seni rupa Indo-nesia sepanjang tahun ini.

Bagaimana tidak mengenaskan jika disebutkan sampai enam macam “kesakitan” atau penyakit, bahkan beberapa sudah termasuk akut. Andaikata kejadian itu menimpa seseorang, bisa Anda bayangkan betapa menderitanya. Sekadar istilah komplikasi belumlah cukup untuk melukiskannya. Saya bukanlah seorang dokter, sekadar pelukis, tapi izinkanlah saya untuk ikut membedah tawaran isu dalam tulisan Mikke Susanto yang menurut saya masih cenderung konservatif dan tanpa dilengkapi akurasi data sebagai instrumen argumentasi.

***

“PEMBEDAHAN” pertama tertuju pada tataran wacana dan kritik seni rupa. Sekilas terlihat begitu meyakinkan “diagnosa” oleh Mikke tentang minimnya kesadaran untuk menciptakan “pola dan aturan main” bagi perangkat seni rupa kita. Sehingga menimbulkan masalah besar ketika memasuki wilayah praksis. Namun, jika kita lebih teliti, penyakit seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun lalu, bukan spesifik hanya tahun ini. Dan beberapa upaya penyembuhan telah dilakukan. Polemik seni rupa di Kompas beberapa waktu lalu bukanlah penyakit, seremeh apa pun isu yang dilontarkan, justru ia adalah obat. Ia, polemik itu, adalah vaksinasi bagi pewacanaan seni rupa kita. Prinsipnya: memberi sedikit racun demi melatih kekebalan tubuh. Itulah yang dilakukan lewat polemik Adi Wicaksono versus Made Sukadana dan juga tentang “hegemoni Bali”.

Lihatlah betapa tahun ini mulai banyak muncul media cetak baru-meski sebagian masih bersifat lokal pendistribusiannya-yang mengkhususkan diri pada rubrikasi seni. Misalnya komunitas Apotik Komik Yogyakarta melansir tabloid tentang mural (seni lukis dinding), sekelompok mahasiswa ISI Yogya menelurkan Untitled yang seukuran setengah kuarto. Dan beberapa koran membuka diri terhadap berita serta artikel seni. Bahkan, Kompas menambah jatah halaman untuk tulisan seni dan budaya, entah yang bertajuk Bentara terbit sekali sebulan atau yang reguler muncul sekali dalam sepekan. Lepas dari suka atau tidak suka, tahun 2002 ini untuk pertama kalinya diadakan kompetisi seni lukis Indofood Art Award untuk mengisi “jeda” kompetisi Philip Morris Art Award yang sebelumnya telah tergelar secara rutin selama delapan tahun. Berlebihan jika saya katakan bahwa kondisi wacana dan kritik sudah sembuh total, namun sekali lagi, usaha penyembuhan bukannya tidak ada. Saya kira, cara pandang pesimistiklah yang kuat mengungkungi kerangka berpikir Mikke, sehingga kekosongan demi kekosongan yang ditemuinya.

“Pembedahan” kedua, tentang pergolakan masalah harga lukisan atau karya seni yang lain. Data yang didapat dari rumah lelang Larasati, Balindo, Sotheby’s dan beberapa galeri seni terkemuka menunjukkan terjadinya penurunan grafik transaksi penjualan lukisan secara signifikan. Mereka bilang, pasar lesu. Menurut hemat saya, ini kelesuan yang bagus. Karena dengan demikian (semoga) ini bisa dibaca sebagai semakin pintarnya pembeli alias kolektor untuk tidak mudah dibodohi para “simulator”, sang pencari keuntungan semata. Galeri atau balai lelang sudah mulai dinafikkan untuk tak lagi dijadikan sebagai pemilik otoritas selera (taste) seni. Para kolektor bisa saja berburu karya seni langsung ke studio si seniman, bukan lewat galeri yang diasumsikan bisa memanipulasi bahkan menghegemoni selera.

Saya setuju dengan diagnosa Mikke yang menyebutkan bahwa tahun ini banyak aktivitas kesenian masih ditopang oleh identitas infrastruktur dan art-world yang mumpuni. Maka untuk yang satu ini saya tak perlu membedah ulang.

“Pembedahan” ketiga, tentang kematian beberapa seniman. Kematian adalah keniscayaan. Jika orang tidak boleh mati, bukankah ia lebih kesakitan? Saya tidak tengah bermaksud mengecilkan arti almarhum Umar Kayam, Widayat, Otto Djaja, Nyoman Tusan, Mustika atau siapa pun seniman yang meninggal tahun ini. Mereka memang sudah waktunya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Tentang apa yang mereka tinggalkan adalah satu hal, namun bagi saya sama sekali bukan hal yang serius. Bagaimana kelanjutannya sangat tergantung kepada apa yang telah mereka perbuat ketika hidup. Jika memang layak untuk dicermati, diteliti, didokumentasikan dan sebagaimananya, pasti akan ada yang akan melakukannya. Jangan lupa, Vincent van Gogh lebih dikenal setelah dia mati. Dan dokumentasi, kajian, karya historiografi, dan lainnya sudah banyak dikerjakan oleh banyak orang, tentu dengan karya-karya Van Gogh sebagai titik pijaknya. Bukan dengan sekadar memelihara romantisme lewat memprihatinkan kematian seseorang, apalagi sudah lama tak lagi berkarya. Kiranya hanya karya dan bukan nama (besar)-yang menjadi elan vital bagi seorang seniman.

“Pembedahan” keempat, ihwal kegelisahan rasa tak aman bagi seniman ketika menggelar karyanya. (Mikke menyebut secara keliru beberapa event seperti pameran fotografi Rama Surya dan pameran seni rupa Pius Sigit di Kedai Kebun Yogya yang berlangsung tahun lalu, tapi disebut berlangsung tahun 2002 ini). Atas isu ini, dengan segala maaf, saya cenderung mengkutubkan pihak “seniman” dan “bukan seniman” dalam proporsi dikotomis. Sebagai seniman, saya berpandangan bahwa kemiskinan apresiasi pihak “bukan seniman” terhadap karya senilah yang menjadikan mereka bertindak dan melakukan aksi pelarangan, kekerasan, pemaksaan kehendak, dan semacamnya. Maka menjadi tugas seniman untuk bersama-sama “mendidik” masyarakat menjadi lebih apresiatif. Jelas bukan persoalan gampang, tapi terlalu naif jika ini disebut sebagai kesakitan, apalagi sebagai kesakitan khas Indonesia. Ini ada dimana-mana dan di tahun berapa saja.

“Pembedahan” kelima tentang kurangnya rasa percaya diri perangkat dan infrastruktur kita dalam menggali khazanah dan perbendaharaan kekayaan seni rupa yang telah ada. Sama sekali ini bukan hal atau isu baru. Ini berkaitan dengan kuantitas dan kualitas pelaku senirupa non seniman. Coba hitung betapa sedikitnya kurator, pengamat, wartawan seni rupa, kritikus, dan sejenisnya dibandingkan dengan jumlah seniman yang ada. Sebagai contoh, di Yogyakarta setidaknya ada sekitar 1.000 orang yang mengaku sebagai seniman atau seni rupawan. Data ini dapat dilihat dari jumlah peminat pameran Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tahun 2002 yang mencapai jumlah lebih dari angka 1.000, minus perupa yang sudah menganggap diri profesional dan kaya yang menghindari FKY. Ini baru bicara soal kuantitas, belum kualitas. Andaikan saja setengah dari jumlah seniman memiliki kualitas baik dan cuma seorang pengamat yang tidak berkualitas, maka hasil yang didapat tetap saja rasionya belum berimbang. Sehingga rasa gak pede di atas serta-merta tak terhindarkan.

“Pembedahan” keenam mengenai kondisi bangsa dan negara kita yang sakit. So what? Bukannya saya apatis atau tak memiliki kepedulian atau tak cukup menyimpan nasionalisme, melainkan kalau mau jujur, inilah kesempatan terbaik bagi komunitas kesenian untuk menunjukkan perannya sebagai katarsis. Meski sedikit romantik, namun tak terlalu didaktis bahwa seni adalah terapi, pencerah bahkan penyembuh bagi beragam kemungkian penyakit personal atau penyakit sosial. Siapa tahu!

Cobalah tengok kajian historis yang memperlihatkan bahwa munculnya karya-karya besar tidak selalu berbanding lurus dengan situasi hegemonik atau chaos-nya sebuah negeri. “Alam negara” dan “alam kreatif seni” bisa jadi merupakan dunia yang saling mengisi, bukan saling “memusuhi”. Dokter Zhivago-nya Boris Pasternak lahir di tengah kuatnya rezim Kremlin terhadap anak bangsanya. Tetralogi sastra raksasa karya Pramoedya Ananta Toer justru digoreskan dalam cengkeraman kuku kekuasaan negara atas rakyat. Guernica-nya Pablo Piccaso justru terkomposisi apik di atas bentangan konflik bersaudara di Spanyol.

***

KAWANKU Mikke yang baik,

Apakah engkau telah lupa bahwa dalam pandangan orang kebanyakan; orang yang memilih jalur kesenian adalah orang yang “sakit”? Sering kita temui seniman sengaja memelihara “kesakitannya” demi kesenian dan kesenimanan-malah beberapa di antaranya demi hal ekonomis belaka-mereka sendiri. Sungguh sulit membayangkan: menciptakan sebuah karya seni dengan pendekatan yang sama sekali rasional, lumrah dan kebanyakan. Andaipun ia bisa tercipta, pasti sekadar sesuatu yang relatif kering dan biasa-biasa saja. Lalu mana “seni”-nya?

Jangan sakit, Mikke, kami butuh orang sehat untuk mengamati kesenian Indonesia. “Kesakitan” adalah nukleus dan spirit kreatif kami.



Comments are closed.