Seakan-akan tidak ada matahari

Foto milik Pekan Kebudayaan Nasional 2023, diambil oleh Paul Kadarisman

Selamat datang di pameran Seakan-akan tidak ada matahari! Anda akan disambut oleh sepasang lukisan ‘kembar’! Pelukis Sudarso (1914-2006) melukis potret pelukis Kustiyah (1935-2012) dua kali! Lukisan pertama dibubuhi penanda waktu, 1979, dan identitas. Lukisan kedua ditandatangani dengan keterangan: Copy lukisan. Dalam lukisan itu, Kustiyah sedang duduk di atas kayu, atau batu, pada sebuah hamparan alam. Merenung di alam terbuka adalah kemewahan bagi penghuni kota besar seperti Jakarta. 

Pameran koleksi Seakan-akan tidak ada matahari menghadirkan 54 lukisan yang hampir semuanya lebih tua dari kebanyakan dari kita. Pun begitu, ia hadir nyaris setara dengan kita, berdiri sendiri, dan apa adanya. Memasang lukisan-lukisan ini di tiang besi adalah keputusan berlapis. Pertama, untuk menghadirkan lukisan dalam kondisi nyaris sepenuhnya, agar kita punya kesempatan untuk mengenali usia karya-karya ini melalui bahan-bahannya. Kedua, untuk menegaskan bahwa karya-karya ini tidak selalu butuh ‘dipanggungkan’ dengan dinding berwarna pekat. Lukisan-lukisan ini punya ceritanya masing-masing, namun setiap kisah mereka terkait satu sama lain. Seperti juga para para pelukisnya, perkawanan mereka, dan ruang gerak mereka pada masa mereka hidup. Ketiga, untuk memungkinkan mereka—para lukisan ini—untuk sekali-kali bertegur sapa dengan matahari.

Tak seperti sang model pada lukisan kembar itu, karya-karya ini nasibnya berujung di ruang penyimpanan koleksi yang dingin dan sepi. Bila dipajang dalam museum atau galeri, ruang tampil mereka cenderung temaram dan terisolasi dari kenyataan sehari-hari. Ruang Serbaguna Galeri Nasional Indonesia telah memberikan kesempatan untuk karya-karya ini kembali ke pada ke suasana yang mirip dengan ketika mereka dibuat pada masanya. Di hamparan bentangalam terbuka, di gang-gang pasar yang sarat terik mentari, atau di studio sanggar yang tak punya cukup lampu—maka perlu matahari untuk melukis. Di ruangan ini, kita punya kesempatan untuk menyaksikan lukisan-lukisan ini dalam dua ‘alam’. Saat mentari hadir, dimana rona dan pendarnya akan menemukan jalan untuk masuk ke dalam ruangan ini. Dan, ketika mentari terbenam, saat tubuh kita lega karena suhu menurun, namun mata kita merindukan pendar-pendar kekuningan sang fajar.

Kemiripan rona warna seluruh lukisan dalam pameran ini menandakan beberapa hal. Pertama, mereka datang dari suatu era yang sama, 1950an-1970an. Sekalipun beberapa lukisan berasal dari 1980, 1990 atau bahkan 2000an, selera, komposisi, dan pilihan waktra mereka tetap mengisyaratkan angkatannya. Setelah mengalami senarai karya media berdurasi serta karya interaktif yang instalatif, dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2023, lukisan-lukisan ini mungkin membuat kita rikuh. “Eh, jadi harus bagaimana, ya, dalam ruangan ini?” 

Hm, bagaimana kalau tarik nafas dulu?! Dalam ruang pamer ini, suhu dan kelembaban dijaga baik-baik untuk perawatan karya-karya yang mungkin seumur dengan orang tua atau bahkan kakek-nenek kita. Lalu, bayangkanlah bentang alam dimana Kustiyah duduk merenung, dan Sudarso melukisnya. Apabila kita ada di sekitarnya, apa yang sedang kita lakukan di sana? Menikmati alam? Sekadar tidur-tiduran? Atau? Berbekal bayangan-bayangan itu, mari kita menyelami penghujung era Revolusi dan derasnya pembangunan gagasan serta infrastruktur negara pada era Mengisi Kemerdekaan melalui sepilihan lukisan ini!

Separuh hari, ruangan ini sarat dengan sinar mentari. Ketika senja datang, ketemaraman akan mengubah pengalaman kita berada di antara lukisan-lukisan ini. Datanglah beberapa kali untuk mengalami karya-karya ini dalam rona dan atmosfer yang berbeda! Selamat menikmati pameran lukisan Seakan-akan tidak ada matahari!

Tabik,

Hyphen—

Foto diambil oleh Paul Kadarisman

//

Sebuah pameran lukisan koleksi Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Museum Universitas Pelita Harapan, Museum Affandi, dan OHD Museum.

Seniman:
Kustiyah (l. Probolinggo, 1935 – m. Yogyakarta, 2012)
Siti Ruliyati (l. Jombang, 1930 – m. Tangerang, 2023)
Sriyani (l. Yogyakarta, 1930; m. Jakarta, 2006)
Kartika (l. Jakarta, 1934)
Rustamadji (l Klaten, 1921; m. Klaten, 2001)
Trubus (l. Yogyakarta, 1926; hilang 1966)
Zaini (l. Pariaman, 1924; m. Jakarta, 1977)
G. Sidharta Soegijo (l. Yogyakarta, 1932; Surakarta, 2006)
Sudarso (l. Purwokerto, 1914; m. Purwakarta, 2006)
Sutopo (l. Yogyakarta, 1931)
Edhi Sunarso (l. Salatiga, 1932;. Yogyakarta, 2016).

20 Oktober – 19 November 2023
Ruang Serbaguna, Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur No. 14
Gambir, Jakarta Pusat

Jejaring, rimpang
Pekan Kebudayaan Nasional 2023

//

Rangkaian program

  • Diskusi panel: Bagaimana mereka melihat lukisan tempo hari? Bagaimana kita melihatnya hari ini? 24 Oktober 2023, 14.30 – 16.00 WIB, Komplek Kemendikbudristek, Jakarta 
  • Tur pameran bersama Roger Nelson, 25 Oktober 2023, 16.30 WIB, Ruang serbaguna Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
  • Seminar Kelompok Belajar bersama Kelas Liarsip dan Hyphen—, 27 Oktober 2023, 09.30 WIB, Komplek Kemdikbud, Jakarta
  • Pemutaran film, 28 Oktober 2023, 18.30 WIB, Plaza Tenda Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
  • Peluncuran katalog Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak, 29 Oktober 2023, 18.30 WIB, Ruang serbaguna Galeri Nasional Indonesia, Jakarta
  • Tur pameran bersama Hyphen—, 12 & 19 November 2023, 15.00 WIB dan 16.30 WIB, Ruang serbaguna Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

//

Lebih jauh mengenai penelitian Kustiyah, et al : bit.ly/asifthereisnosun



One Comment

  1. […] — (Akmalia Rizqita “Chita”, Grace Samboh, Pitra Hutomo, Ratna Mufida, Rachel K. Surijata) “Seakan-akan tidak ada matahari” (As if there is no sun). Part of Jejaring, rimpang in Pekan Kebudayaan Nasional (National Cultural Week) 2023, 20 October […]