Kusnadi dan Sudarmadji soal GSRBI

Polemik ini semuanya dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), 1975, dan dikumpulkan oleh Sudarmadji dan dimuat dalam buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1979) suntingan Jim Supangkat.

HRS 02

Seni Rupa Baru menurut Kusnadi
Wawancara oleh Supono PR

Di ruang Pameran Taman Ismail Marzuki Jakarta permulaan Agustus, diselenggarakan “Pameran Seni Rupa Baru Indonesia ‘75”. Menampilkan karya sebelas seniman muda dari Bandung, Jogya, dan Jakarta. Penulis tidak sempat melihat pamerna ini, tapi rupanya pembicaraan atas kegiatan tersebut masih saja ramai. Ketika penulis ke Jakarta, penulis mengadakan wawancara singkat mengenai pameran ini yang terlihat sebagai berikut:

Tanya: Bagaimana kesan bapak tentang pameran kesebelasan seniman muda dengan pamerannya, Pameran Seni Rupa Baru?
Jawab: Tidak mengesankan pameran seni rupa yang serius dan dewasa, karena lebih bertendens “dramatis” dan overacting, bergerak keluar dari dunia seni rupa yang mengendap. Arti “baru” bagi mereka hanyalah demikian landasannya, dan bukan berarti baru dalam konteks perkembangan seni rupa kreatif Indonesia yang ada. Dengan penggambaran demikian: Motif pintu di tengah ruang oleh salah satu anggota sudah lama digarap di atas pentas teater di Indonesia sebagai setting drama belaka. Lukisan seng keputihan dan warna coklat, sebagian mengambil motif-motif dan estetik Sadali sepenuhnya, dengan perubahan bahan logam semata-mata. Maka segi estetisnya tidak baru, bahkan plagiatis agaknya. Karya serba geometris keputihan, dalam bahan tripleks, benang, dan logam pantas dipuji penggarapannya, tapi toh tidak sepenuhnya baru. Danarto sudah bergerak jauh lebih dulu dalam ketiga dimensian yang keputihan pula.

Tanya: Bagaimana kedudukan kesebelasan tersebut dalam seni rupa Indonesia yang sekarang?
Jawab: Mereka sebenarnya adalah sebagian kecil saja dari hasil didikan yang belum selesai dari lembaga pendidikan seni rupa yang ada sekarang, tapi yang telah merasa dewasa untuk keluar dari segala pendidikan seni rupa dengan segala macam ketidakpuasan. Jika merekalah yang benar, seperti tulisan Jim Supangkat (Kompas, Selasa, 9 September 1975) barangkali dapat memberi gambaran atas tipe kebenaran tersebut. Hanya rata-rata pembaca justru dingerikan mengikutinya karena dinyatakan sebagai kebosanan pada seni rupa yang baik dan terharu melakukan “message baru” dari pada seni rupa yang boleh vulgair, profan, pornografis. Bahkan menurut salah satu karya yang bermotif Monalisa yang berasal dari Leonardo da Vinci diperlakukan secara vandalistis. Demikian pula patung Ken Dedesa dalam gaya klasik-kepurbakalaan (dikopi secara serampangan) diberi celana yang lepas kancingnya, merupakan penodaan artistik maupun budaya banyak sendiri.

Tanya: Bagaimana masa depan mereka?
Jawab: Masa depannya tentu ada di tangan mereka sendiri.

***

Visi masa lampau Kusnadi
Oleh: Sudarmadji

Pertama kali penulis catatan ini menganggap hasil wawancara Supono Pr. dengan Kusnadi – yang dimuat di ruang ini, Kedaulatan Rakyat 24-9-75 – adalah benar. Artinya catatan Supono Pr. sesuai dengan apa yang dikatakan Kusnadi. Sayang sekali hampir semua pandangannya – jika tidak kabur- sudah bertolak dari landasan yang berbeda dengan pikiran kaum muda. Dengan kata agak keras, kuno dan serampangan. Tentu saja jadi bertabrakan dengan visi baru dari pandangan anak-anak muda yang bergejolak itu. Jika poleh pinjam kalimat yang pernah dilontarkan Takdir Alisbana 40 tahun yan glalu – waktu ia masih muda – Indonesia muda yang kuat, berdebur-debur jantungnya yang merasa derasnya darah remajanya mengalir hanya akan membuka matanya, membuka telinganya, dan membukan pikirannya, dan yang telah diterimanya dengan jalan demikian dari seluruh dunia akan dicernanya di dalam jiwanya.

Rupa-rupanya jiwa muda yang bergejolak, yang menjelajah, yang inginkan hal baru dan inovasi dikatakan tidak serius dan tidak dewasa, dramatis dan overacting. Ia lupa sejarah. Bahwa setiap yang dijelmakan kaum pembaru, baik di Eropa masa impresionisme, fauvisme, dadaisme, dan sebagainya selalu juga dikatakn kurang lebih sebagai barbar, tidak tau seni, vandalistis, seperti istilah keras yang dilontarkan Kusnadi. Bukankah kaum pejuang Republik Indonesia juga dijuluki begitu oleh Belanda?

Bahwa para seniman – atau kalau keberatan katakanlah calon seniman – yang sebelas itu adalah orang-orang muda. Mereka merasa jenuh dengan gaya-gaya yang sudah ada. Dan ini dapat dilihat sebagai pangkal kemajuan. Mereka terbentuk dalam kondisi dan situasi yang berbeda dari masa muda Kusnadi yang dikelilingi oleh karya-karya macam Rembrant Van Rijn, Jan Steen, dan – dalam ilustrasi buku – C. Jetses, M.A. Kockock, W.K. de Bruin. Sedang kesebelas anak muda Seni Rupa Baru digelimangi oleh para seniman macam Piet Mondrian, Kadinsky, Jackson Pollock, Marcel Duchamp, Jasper Johns, Bridget Riley, Mochtar Apin, Sadali, Sidharta, dan lain-lain.

Bahkan juga tetangga: Affandi yang jika melukis makan waktu hanya dua jam. Dibanding dengan Leonardo da Vinci atau Raden Saleh yang menyelesaikan lukisannya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tentu Affandi bisa dicap – pinjam istilah Kusnadi – tidak serius.

Dalam wawancara itu, dikatakan “pintu” di tengah ruang sudah lama digarap di atas pentas di Indonesia sebagai seting drama belaka. Jika pikiran Kusnadi diteruskan, bisa dikatakan pintu di pentas drama itu lebih dulu sudah dikerjakan oleh tukang kayu di desa. Maka tidak heran kalau filsuf Yunani mengatakan kreator pertama adalah Tuhan. Kreator kedua adalah tukang kayu, dan kreator ketiga barulah seniman.

Pernyataan kedua itulah yang selalu hangat dipermasalahkan dalam memperebutkan kelas dan originalitas. Tapi Kusnadi lupa bahwa pintu ditampilkan dalam ruang pameran dengan predikat karya seni rupa sebelumnya belum pernah kita lihat, dus ini baru. apakah yang baru itu jelek atau bagus, itu perkara lain.

Tentunya kita sependapat bahwa seniman yang sebelas itu tidak seyogyanya buru-buru divonis negatif cuma karena mereka membuat gejala-gejala baru. Paling tidak kita saksikan dengan berdebar-debar kelanjutannya. Pada pendapat saya, begitulah semestinya seorang evaluator atau kritikus yang bijak.

Sungguh kurang bijaksana dari Kusnadi untuk menghubung-hubungkan kesebelas seniman muda itu dengan Sadali, Danarto dengan nada melecehkan. Jika nada tersebut faktual-historis saja barangkali tidak apa. Seperti umpamanya memperbandingkan karya Picasso “Les Demoiselles d’Avignon” dengan topeng-topeng Itumba Afrika, atau karya konstruktivitis pertamanya Vladimir Tatlin dengan kolase pertamanya Picasso dan sebagainya.

Terhadap pertanyaan kedua Supono Pr., Kusnadi telah melakukan evaluasi yang terlalu berat sebelah dan sembrono. Pendapatnya sebagai berikut: “Mereka adalah sebagian kecil saja dari hasil pendidikan yang belum selesai… yang merasa dewasa untuk keluar dari pendidikan seni rupa, dengan segala macam ketidakpuasan”. Pada pendapat penulis, jika karya-karya mereka buruk, kemukakan saja alasannya, kriterianya, sebut judul dan nomor karya. Jadi, tidak perlu dikatakan apakah ia hasil pendidikan yang belum selesai, merasa dewasan, dan lain sebagainya.

Kata-kata Kusnadi “vandalistis” untuk sebuah karya yang tidak berkenan di hatinya, tidak bisa lepas dari situasi kebudayaan Indonesia secara menyeluruh. Termasuk buku, film, perangai orang tua, dan pemimpin-pemimpin Indonesia. Bagaimana pun juga anak muda adalah insan yang lahir lebih kemudian dari orang tuanya atau gurunya, dan pemimpinnya. Maka yang menjadi penilaian utama – dalam ukuran moral –  adalah sikap dan tingkah laku anak muda. Itu kemudian mempengaruhi seluruh penilaian. Nah, bagaimana dengan Ken Dedes dan apa itu penodaan artistik?

Dalam kita pararaton, diceritakan bahwa Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, konon parasnya cantik. Pada waktu ia hamil tiga bulan, suaminya dibunuh oleh Ken Arok. Kendati ia tahu, ia mau diperistri Ken Arok. Mungkin karena parasnya cantik, orang memujanya dan mematungkannya. Tentu saja hak seniman penciptanya yang sekaligus juga interpretator untuk menggambarkan kecantikan sebagai suatu kesempurnaan.

Budaya Indonesia yang sekarang juga mengenal pemujaan kecantikan tubuh. Lihat saja majalah hiburan dan bermacam kontes kecantikan. Barangkali di sekitar situ interpretasi Jim Supangkat dalam kreasinya “Ken Dedes”. Dan ia punya hak untuk itu. Hasilnya memang mengagetkan. Jim Supangkat telah menggambarkan Ken Dedes sebagai wanita murahan, memakai celana Jeans yang terbuka kancingnya hingga agak nampak auratnya.

Tafsiran pematung Ken Dedes yang dulu: keanggunan dan kekhusukan, tentu tak dapat dikatakan keliru, tetapi salahkah Jim Supangkat dengan interpretasinya yang sekarang? Meskipun penulis termasuk orang yang kaget melihat Ken Dedes dalam gambaran yang berbeda sekali dari imaji yang umum.

Jawaban Kusnadi atas pertanyaan: Bagaimana masa depan mereka (dijawab dengan) “Ada di tangan mereka sendiri” penulis pada garis besarnya setuju. Sebab memang tongkat estafet seni rupa Indonesia sudah ada di tangan mereka, lagi mereka bawa lari… ke depan.

***

Menilai pembelaan Sudarmadji pada Seni Rupa Baru Indonesia
Oleh: Kusnadi

Sesudah saya melihat apa yang dinamakan “Pameran Seni Rupa Baru Indonesia di TIM, Jakarta, kemudian membaca pengantar katalogus yang ditulis oleh Sanento Yuliman, selanjutnya mengikuti diskusi (dari rekaman) juga tulisan-tulisan di surat kabar-surat kabar Kompas dan Kedaulatan Rakyat, ternyata bahwa isi pameran ini kurang sekali mendapat sambutan, di sebaliknya banyak pernyataan yang menggambarkan kekecewaan sehingga peserta-peserta pameran sendirilah yang menulis di surat kabar-surat kabar dan hanya Sudarmadji-lah yang menyambut dengan harapan.

Mengingat akan kenyataan bahwa pameran ternyata kurang bernilai apresiatif seperti saya uraikan di atas, saya merasa perlu menjelaskan beberapa pokok pandangan obyektif yang telah membawa perbedaan pendapat yang cukup tajam antara saya dengan Sudarmadji.

  1. Bahwa saya tidak memakai ukuran untuk menilai karya-karya pameran Seni Rupa Baru, seperti umpamanya “prestasi sekadar” atau “lumayan”. Karena karya-karya ini dihasilkan oleh mereka yang masih disebut – meminjam istilah Sudarmadji – “calon seniman”.
  2. Bahwa prinsip yang mengaburkan nilai artistik atau menyampingkan nilai-nilai estetis – yang dinyatakan peserta dalam gagasan tertulis atau nampak pada karya-karyanya – sebenarnya hanyalah suatu pelarian dari kegagalan dalam estafet yang serius di bidang seni murni.

Memang bagi mereka yang ingin menggunakan hasil karya sebagai alat komunikasi efektif atau langsung tidak memerlukan unsur estetis secara sempurna. Setiap benda guna dalam “applied-art” seperti cangkir sudah komunikatif sepanjang masa. Demikian kurang-lebih sifat dari terbanyak benda-seni yang dipamerkan, mirip property drama: salib dengan potret diri, poster “dicari”, dekorasi-dekorasi, ilustrasi “lukisan jalan aspal”, membawa rasa hambar kementahan, baik dalam bentuk maupun warna. Seolah-olah seorang seniman cukup memimpikan idenya saja, tanpa mewujudkannya dalam karya yang bermutu sempurna.

Sekalipun sebagian karya nampak diarahkan sebagai kritik terhadap kejadian-kejadian di masyarakat, ia tidak boleh digarap setingkat dengan poster biasa. Seperti saja karya-karya bermutu tinggi dalam karya seni karikatur oleh pelukis Honore Daumier ataupun karya-karya mendalam dalam ekspresionisme oleh Kathe Kollwitch.

Beberapa pendapat saya mengenai tanggapan Sudarmadji di bawah ini akan lebih menjelaskan perbedaan prinsip tinjauan satu sama lain:

  1. Bahwa sikap saya tidak berhenti pada menilai prestasi peserta pameran 11 seniman muda semata-mata, tanpa menghubungkan dan membandingkannya dengan prestasi yang lebih besar dan sehat, seperti yang dimiliki seniman-seniman terbaik Indonesia sebelum mereka yang menurut kenyataan jauh lebih senior, yang jauh lebih dalam visinya, lebih matak tekniknya, lebih kaya dalam ragam gaya. Tapi ini justru mereka nodai dengan tidak mengakui kehadirannya sebagai seni masa kini untuk menempatkan karya-karya mereka sendiri sebagai satu-satunya kehadiran (Desember Hitam 1974). Apakah sikap congkak ini wajar bagi Sudarmadji dan sesuai dengan tingkat esperimentasi pamerannya? Dan terbukti tidak cukup mampu melairkan antusiasme masyarakat seni, terutama yang lebih matang. Tentu ini akibat kepincangan-kepincangan psikologis yang dicerminkan dari banyak karya-karya pameran di samping sedikit imbangan keistimewaannya.
  2. Dalam tulisan Sudarmadji (Kompas, September 1975) terdapat juga kesimpulan yang meragukan keberhasilan pameran ini, yaitu: “Tetapi juga barangkali menagalami kegagalan karena bahasa wujud tidak mudah untuk serta-merta diabaikan sebagai pemenuh idiil”. Di sini tersimpul kekuatiran yang cukup jelas.
  3. Tulisan Sudarmadji dalam Kedaulatan Rakyat, 1 Oktober 1975 nampak sekali hendak mengalihkan anggapan umum tentang pengamatan saya pada hasil-hasil pameran dengan memberi kesan bahwa pengamatan saya tidak penting, dengan mendalihkan visi saya baru mengenal seni Rembrant (3 abad yang lalu) sehingga tentang seni Affandi pun masih kurang mengerti. Sedmikian naifnyakah Sudarmadji?

Tentunya Sudarmadji masih ingat sekali bahwa Affandi pernah saya jadikan contoh dalam menyangkap pendapat Oesman Effendi yang tidak mengakui adanya Seni Lukis Indonesia.

Kemudian Sudarmadji-lah yang membei komentar atas ketepatan pilihan saya dalam pameran pelukis-pelukis ASEAN (ada rekamannya). Nah, sudahkan Sudarmadji mulai merasakan betapa dibikin-bikin pendugaan terhadap pengetahuan saya?

Apalagi kalau membaca tulisan saya dalam Budaya, 1954 (21 tahun yang lalu) mengenai Picasso, Paluk Klee, Mondrian, Manesser, Duchamp, Soulages, dan lain-lain yang saya saksikan sendiri pada Bienalle II Sao Paolo.

Dengan begiu, saya masih berharap bahwa dalam usia muda Sudarmadji hendaknya belum dihinggapi kelinglungan-kritik-seni walaupun tanda-tanda positif sudah ada.

Suatu kecerobohan yang memuncak dilakukan oleh Sudarmadji adalah dengan menempatkan foto reproduksi – yang dibuatnya sendiri – dari hasil karya Ris Purwanto dengan kata-kata “Kusnadi boleh tak menyukainya”. Padahal, karya Ris Purwanto adalah di antara yang sedikit, yang justru saya senangi karena menggarap estetik (serba geometrik dalam warna keputihan). Dengan perasaan sedikit lebih peka atau dengan kaca mata yang sedikit lebih bersih.

Sudarmadji pasti dapat mengetahui bahwa karya keputihan dalam tiga dimensi yang saya tuliskan – sekalipun tanpa nama – adalah karya Ris Purwanto. Di sana memang saya tambahkan catatan tidak baru sebab sudah digarap Danarto, tapi ini hanya memperingatkan sifat barunya yang sudah didahului.

Adalah mudah untuk mengenal sejarah-sejarah pembaru seni yang mula-mula ditolak, dengan contoh kaum impresionis, fauvis, dan dada. Tapi yang dilupakan Sudarmadji adalah fakta-faktanya yang terpenting, yaitu bahwa kaum fauvis, impresionis jelas bukan anak-anak belasan tahun, tapi adalah orang-orang dewasa yang matang, yang banyak mempelajari karya para master dalam museum, baik Barat maupun Timur dengna penghayatan lewat cara mengopi dan merekomposisi dalam gaya sendiri selain membaca buku-buku.

Maka saya lebih percaya seorang Sadali, Popo Iskandar, Sidharta, Srihadi, Fadjar Sidik telah banyak mengadakan pembaruan-pembaruan bukan sebagai pencoba-coba saja. Melukis atau memahat tanpa pretensi yang bukan-bukan di luar kerja seni dan nyata sukar dipungkiri keberhasilannya dalam memperkaya seni rupa Indonesia yang bermutu.

Sebagai penutup: Mengapa kopi patung “Ken Dedes” yang bercelana jeans oleh Jim Supangkat tidak semata menodai budaya sendiri, tapi juga artistik seni, ditanyakan Sudarmadji.

Sebagai jawabannya ialah: Karena nilai kerdil dari hasil pengopiannya adalah masalah seni. Bisa saja orang menganggap tidak menodai budaya sendiri, tapi toh itu menodai ciptaan Jim Supangkat pribadi karena celana yang terbuka bukanlah untuk patung Ken Dedes yang bermutu, tapi bisa bagi hasil kopi yang kerdil nilainya.

***

Seni Rupa Baru memancing perdebatan
Oleh: Sudarmadji

Menyenangkan sekali, lebih-lebih bagi peserta pameran yang sebelas itu. Gaung pernyataan mereka terus berlanjut sampai sekarang. Dan agaknya nanti akan masih disambut lagi oleh Kusnadi menjawab tulisan ini. Padahal, pameran ini sudah usai beberapa bulan lampau. Boleh dikata hampir tak ada di Indonesia, pameran yang dilakukan kaum muda, yang ekornya berbulan kemudian masih tersisa, baik di Yogya, di Chase Manhattan Bank, maupun di Galeri Hadiprana. Umumnya, dianggap sepi saja oleh penulis-penulis. Bahkan tokoh yang membanggakan diri, lukisannya habis dibeli orang sering tak setetes pun muncul beritanya di koran. Untuk masuk koran, memang mesti diperlukan arti dan juga simpati.

Dalam jawaban Kusnadi atas kritik saya, terdapat tulisan pada alinea pertama: “… maka ternyatalah bahwa pameran ini kurang sekali mendapat sambutan…” juga kata-kata: “… sehingga peserta pameran sendiri sajalah yang menulis di surat kabar-surat kabar…”.

Di sini akan saya tunjukkan bahwa Kusnadi kurang cermat.

Pada waktu pameran itu dibuka, telah muncul di harian sore Sinar Harapan, tulisan Sanento Yuliman. Meskipun artikel ini termuat dalam katalog, namun redaktor budaya Sinar Harapan memandang perlu untuk disiarkan lebih meluas. Ini artinya ada sambutan.

Dalam diskusi yang diselenggarakan, hadir antara 150 – 200 orang pengunjung dari bermacam sektor seni. Teater, film, sastra, di samping orang-orang seni rupa sendiri. Antara lain: Wahyu Sihoming, Satyagraha Hurip, Zaini, Nashar, Peransi, Gatot Kusumo, Salim Said, Gunawan Mohamad, Arswendo Atmowiloto, Tuti Herati, Ikranegara, Slamet Sukirnanto, Danarto, Bambang Budjono, A.D. Pirous, G. Sidharta, T. Sutanto, Sunaryo, dan banyak lagi. Kusnadi sendiri memang pamit karena ada undangan asing yang tentunya lebih penti (tentu saja hak-nya).

Pada Sinar Harapan, 23 Agustus 1975 muncul pula komentar informasi-interpretatif saya. Laporan diskusi disiarkan harian Kedaulan Rakyat, 13 Agustus 1975. Dalam terbitan Selasa, 9 September, Kompas memuat laporan utama karena di sana terdapat tulisan Jim Supangkat (diminta oleh redaksi, jadi tidak seperti dugaan Kusnadi) T. Herati Nurhadi, Yudha Ris, dan Agus Dermawan T. Kompas ini sudah disinggung Kusnadi dengan menyebutkan tulisan Jim Supangkat, tetapi melihat kutipannya, naga-naganya selain tulisan Jim Supangkat, tulisan-tulisan lainnya tidak dibaca. Mungkin karena nama-nama muda itu asing barangkali. Belum punya nama? Atau judulnya tidak menyebut Seni Rupa Baru?

Di majalah yang cukup berpengaruh, Tempo, terdapat tulisan Bambang Budjono pada halaman 32 dan 33 lengkap dengan tiga reproduksi. Belum lagi jika Kusnadi tahu sambutan Gerson Poyk dan Darmanto Yt di Tribun, Yusuf Affendi di Pikiran Rakyat, dan wawancara dengan Daryono di Surabaya Post.

Seorang kawan – RP – yang bermukim di Brebes telah menangkap siaran radio kota madya Tegal yang mengudarakan pameran Seni Rupa Baru Indonesia mengutip tulisan di Sinar Harapan.

Seusai pameran di Jakarta, Drs. But Mochtar selaku Dekan Seni Rupa ITB mengundang dan membiayai pameran ini untuk diselenggarakan di Bandung, ke Kampus ITB. Dipamerkan untuk bahan studi, apresiasi, dan tentunya evaluasi. Masih satu lagi yang saya ketahui, majalah sastra Horison, yang kantornya dekat kantor Kusnadi, telah memuatnya dalam bentuk kronik dan memunculkan repro karya-karyanya untuk cover. (No. 9 bl. September 1975).

Dalam bandingan, saya pikir, sambutan yang begitu menggebu hanya mungkin diraih oleh Affandi.

Heran sekali jika Kusnadi bilang, “Kurang sekali mendapat sambutan” dan “sehingga peserta pameran sendirilah yang menulis di surat kabar-surat kabar”.

Dalam tulisan Kusnadi itu, terdapa pula tulisan: bahwa dalam usia semua Sudarmadji, hendaknya belum dihinggai “kelinglungan” walaupaun tanda-tanda positif sudah ada. Lalu, dalam kolom 2 poin 4 tertera: “Suatu kecerobohan yang memuncak dilakukan oleh Sudarmadji adalah dengan menempatkan foto reproduksi (yang dibuatnya sendiri) hasil karya Ris Purwanto.

Sebelumnya, terima kasih atas pujian Kusnadi yang sudah melihat tanda-tanda positif pada diri saya. Tapi bagian yang menyatakan saya ceroboh dan linglung, kiranya lebih tepat dikenakan sendiri oleh Kusnadi. Kecerobohan Kusnadi terlihat dan terbukti dengan menyebut nama pelukis Ris Purwanto. Nama yang sesungguhnya telah saya tuliskan Ris Purwanto, seharusnya Ris Purwana, dan telah salah diset oleh Kedaulatan Rakyat menjadi Ris Purwanto. Kalau saja Kusnadi memahami benar karya dan penciptanya dan mencocokkannya dengan katalog, tentu saja Kusnadi tidak kutip asal kutip begitu saja.

Dalam alinea kedua tangkisannya, nampaknya Kusnadi berusa menjelaskan beberapa pokok pandangan dasar obyektif yang efeknya maunya menimbulkan perbedaan pendapat dengan saya. Tapi usaha Kusnadi sia-sia.

Kalau tidak sia-sia, jabarannya mengherankan saya. Metode penjelasannya kabur. Dapat saya tunjukkan dengan kalimat yang ujudnya negatif. Inilah katanya, “Bahwa saya tidak memakai ukuran untuk menilai karya-karya pameran Seni Rupa Baru, seperti umpamanya, prestasi sekadar atau lumayan. Karena karya-karya ini – meminjam istilah Sudarmadji – dihasilkan oleh mereka yang masih bisa disebut “calon seniman”. Ayat ini kabur dan tidak fungsional. Dengan kata-kata lain: sia-sia.

Di bagian lain, ada pandangan Kusnadi yang tidak murni sebab ia sudah mencampurbaurkannya dengan evaluasi dan pendapat. Buktinya, di situ tertulis: “… menurut kenyataannya karya-karyanya sebenarnya hanya suatu pelarian dari kegagalan dan seterusnya…”. Ini pun tanpa analisa dan argumentasi. Sama mudahnya dengan jika orang mengatakan, “Menurut kenyataannya… karya-karyanya baik sekali”.

Kusnadi juga masih repot – sebagai kritikus – mengklasifikasikan mana yang “applied art” mana yang “pure art”. Dan saya yakin Kusnadi masih akan direpotkan dengan pemisahan mana yang dua dimensi, mana yang tiga dimensi. Pandangan tentang seni lukis yang konvensional. Nah, jika benar ini yang dimaksud, memang beliau agak berbeda dengan saya.

Pada pendapat saya, yang saya sesuaikan dengan gejala obyektif, jika perlu jangan lagi dicari-cari perbedaan itu. Seniman “seni rupa” yang sebelas itu, memang justru tidak lagi menghiraukan klasifikasi ala Kusnadi itu. Karya-karya mereka mau memanfaatkan apa saja sebagai bahasa visual. Itulah sebabnya, barangkali mengapa Kusnadi jadi ingat karikatur, cangkir, property drama, dekorasi etalase, patung Ken Dedes, dan sebagainya, dan kemudian berpendapat aa yang dinodai.

Mengingat kata Kusnadi: “Beberapa pokok pandangan obyektif”, saya duga Kusnadi mengikuti aliran kritik seni yang menurut tipologi P.A. Van Gastel, tipe klasik, atau aliran absolutisme. Paling tidak mirip begitulah. Tapi, jabarannya nampak realivistis.

Kusnadi mengingatkan komentar pameran ASEAN yang direkam, yang saya ucapkan. Komentar yang memuji ketepatan Kusnadi dalam memilih karya, tetap berlaku sampai sekarang pun. Bisa saya tambahkan bahwa itu hasil kerja yang bertahun-tahun dengan cermat. Tetapi hendaknya disadari bahwa tepat dalam memilih wakil Indonesia dalam pameran ASEAN tidak otomatis tepat sikapnya terhadap seniman yang sebelas itu. Judul artikel saya, 1 Oktober yang alu pun sudah jelas: “Visi Masa Lampau Kusnadi, mengenai Seni Rupa Baru Indonesia”.

Mengenai sikap Kusnadi pada “Ken Dedes” Jim Supangkat, pada akhir tulisannya, saya meilhat mulai ada titik terang. Terutama dengan terluncurnya kalimat: “Bisa saja orang menganggap tidak sampai menodai budaya sendiri, tapi… dan seterusnya”. Mengenai jawabannya  bahwa patung Ken Dedes tidak berkenan di hati karena nilai kerdil dari pengopiannya, sebenarnya tidak menjelaskan apa-apa. Mengapa Kusnadi menyebut pengopian dan tidak memandangnya sebagai medium seni rupa?

Visi lama memang menganggap media seni rupa ialah garis, bentuk, warna. Dus, elementer sekali. Tapi, visi baru sanggung menggunakan barang jadi dan barang bekas. Umpamanya saja, karya-karya Julsi Schmidt, Jean Tinguely, Bruce W. Kokko, Max Ernst, Louise Nevelson, dan Jasper Johns.

Jika Jim Supangkat mengopi patung Ken Dedes, ia tidak vandalistis, ia tahu undang-undang hukum pidana dan peraturan perlindungan benda purbakala, dus tidak mencurinya dari museum (patung ini masih berada di museum di negeri Belanda, belum dikembalikan). Sebagaimana juga Jasper Johns, umpamanya, dengan mudah mengambil sapu ijuk. Jika Jim mengopi patung itu, tentunya ia bukan sekadar mengopi, tapi itulah medianya, bahasa wujud yang sekarang, sebagaimana Kusnadi menggunakan medium garis untuk ciptaannya.

Ini yang luput dari interpretasi Kusnadi untuk memahami karya-karya Seni Rupa Baru Indonesia. Memang, berkali-kali hilir-mudik ke luar neger bukan jaminan untuk memahami dan mensiasati pertumbuhan seni rupa – dengan istilah Kusnadi – betapapun ia melihat sendiri.

Akhirul kalam, ingin saya simpulkan pokok-pokok pikiran yang saya lontarkan, baik dari Kedaulatan Rakyat, 1 Oktober maupun yang sekarang.

  1. Saya ingin mengingatkan kritik Kusnadi (lewat wawancara) terlalu keras dan tidak proporsional.
  2. Kritik itu terlontar terlalu pagi. Seyogyanya Kusnadi bersabar hati menunggu kreasi dan pamerannya paling tidak sekali lagi. Kesalahan ini sama dengan kesalahan Popo Iskandar dan Rusli dalam menanggapi lukisan batik.
  3. Menilik cara Kusnadi mendekati karya Jim Supangkat, jelas Kusnadi terlalu terpaku di tempat yang lampau dalam memahami media pengungkapan seni rupa. Makanya tidak usah dulu mempersoalkan apakah karya Jim jelek atau baik.

Dan saya senang sekali menunggu sambutan lagi dari Kusnadi sebab dengan begitu akan saya lihat bagaimana Kusnadi akan mulai mengingkari ucapannya sendiri bahwa sambutan pada pameran Seni Rupa Baru Indonesia kurang sekali. Yang sekaligus juga akan mengingkari konstatasinya bahwa peserta pameran sendirilah yang menulis di surat kabar-surat kabar.

Beserta salam!

***

Pengingkaran dan pengelakan Sudarmadji sekitar nilai Seni Rupa Baru
Oleh: Kusnadi

Pertama-tama, saya merasa lega bahwa Sudarmadji masih dapat saya ingatkankembali pada pengakuannya atas pilihan saya dalam memilih karya untuk pameran seni lukis ASEAN, tahun 1974. Dan menggembirakan bahwa pengakuannya dinyatak “berlaku sepanjang masa”. Ini membuktikan bahwa pandangan saya tentang snei tidak berhenti sampai Rembrant, seperti pandangan kelirunya Sudarmadji. Dan, pandangan saya bisa tepat untuk menilai karya-karya seniman Indonesia seperti Affandi dan seniman lainnya. Salah duga macam inilah yang saya namakan kelinglungan kritik seni.

Masih ditanyakan olehnya apakah pandangan saya bisa mengena untuk menilai karya seniman muda yang sebelas itu?

Adalah urusan Sudarmadji sendiri yang mau memandang karya-karya yang bertingkat eksperimen sebagai bentuk seni yang dianggap matang atau “seni penuh”.

Sebenarnya, Sudarmadji telah menyadari bahwa snei mereka belum matang, dengan mengharap saya untuk menunggu kelanjutannya. Di sini terdapat pengingkaran dan penyembunyian kebenaran lagi. Bagaimana seni yang belum matang akan dapat menjadi seni baru Indonesia.

Juga diskusi di TIM sewaktu pameran berlangsung tidaklah seperti apa yang dituliskan Sudarmadji bahwa diskusi dikunjungi 100 orang dari kalangan seni rupa dan seni lain yang seolah-olah serba menyambut baik. Adalah perbuatan yang mirip kanak-kanak kalau Sudarmadji menghitung jumlah orang yang datang dalam forum diskusi tanpa menerangkan peran diskusi sebagai pengail apresiasi.

Banyak di antara mereka yang meragukan hasil eksperimen 11 orang itu. Di antaranya ada yang memaki-maki dan membuat lelucon dan menelanjangi prinsip mentah pamerna itu.

Sebenarnya, mengherankan kenapa Sudarmadji masih keheran-heranan juga bahwa saya berpandangan lain dengannya. Padahal, sekian banyak orang belum dapat meyakini keberhasilan eksperimen-eksperimen itu, seperti juga saya.

Di bawah ini, saya kutipkan beberapa pembicaraan yang penting waktu diskusi atas dasar rekaman:

Ny. Tuti Nurhadi yang disebut-sebut Sudarmadji seolah-olah yang menyambut baik pameran, telah menganggap pameran ini setingkat kenakalan remaja saja. Ia menolak “kekongkretan benda” sebagai peran utama pameran yang disimpulkannya sebagai kelemahan sikap mental. Karena manusia yang berkesadaran atas kehadiran dirinya sebagai bukan benda mati, mengapa menyerah diserap dan akhirnya tertelan oleh kebendaan. Seperti tulisannya di harian Kompas: “Semakin kongkret rupanya semakin mentah, yang paling mentah, paling kongkret, tentunya mengambil palang pindu dan melemparkannya pada pengamat jitu”. Dengan judul karangan: “Rupa-rupa Seni, Praktek Dan Teori” (perhatian: rupa-rupa seni dan bukan seni rupa) telah memberi gambaran isi tanggapannya.

Ada lagi, Zaini memperingatkan jangan sampai mengikuti perkembangan sedemikian rupa sehingga kepribadian sendiri. Peringatannya diberikan tas dasar pengalamannya mengikuti jalan pikiran Sudjojono yang mula-mula menganjurkan meninggalkan kebudayaan sendiri yang sudah berbau kemenyan, kemudian kembali menganjurkan supaya seni baru Indonesia memiliki ciri-ciri sendiri. Dengan kata lain, Zaini meragukan konsekwensi pemakaian dasar eksperimen ini untuk kelanjutan yang sehat.

Nashar beranggapan bahwa walaupun applied-art bisa mempengaruhi seni murni, ia bisa berbahaya bagi seniman yang belum kuat. Ini menunjukkan gambaran masih kaburnya batasan fine-art dan applied-art dalam pameran 11 seniman muda itu. Dan dalam wawancara dengan Kompas, Nashar menyatakan kelompok ini belum layak dibicarakan nilai ekspresinya.

G. Sidharta berpendapat untuk tidak melihat kualitasnya sekarang dan sebaiknya ditunggu kelanjutannya, apakah bisa terus hidup atau tidak di Indonesia.

Gatot Kusumo menyimpulkan bahwa tingkat pameran sekarang ini masih ramai-ramai berengsek, mencari! Untuk pematangannya dibutuhkan teknik yang kuat.

Sulebar berpendapat bahwa masing-masing pelukisnya belum mempunyai konsep pikiran sendiri yang jelas. Keberanian sudah ada, tapi belum berpandangan jauh ke muka.

Di luar rekaman di atas, saya sempat menanyakan pendapat Dan Suwaryono. Ia beranggapan pameran ini masih mentah. Sunaryo merasa heran mengapa material plastik sebagai pembungkus lebih menarik seniman-seniman ini dari pada alat pembungkus asli seperti daun pisang.

Maka terlihatlah disproporsi sikap kritis Sudarmadji sebagai berikut:

  1. Pernah Sudarmadji menuliskan kemunduran Affandi dalam mutu seni karya-karyanya belakangan ini. Bagaimana sikapnya terhadap Muryoto, yang menyatakan sikap mencipta seni sebagai “main-main saja”. Hasilnya juga dapat kita lihat dalam pameran, hasil main-main. Sebegitu kecilnyakah Muryoto yang sudah mengaanggap dirinya sebagai pembaru seni lukis Indonesia (sebagai anggota 11 seniman muda itu). Agaknya Sudarmadji tidak melihat kemerosotan. Muryoto baik dalam ide maupun hasilnya.

Menjadi pertanyaan apakah Sudarmadji memang sependapat atau tak bernai berpendapat karena Muryoto anggota 11 seniman muda itu. Jadi, apa fungsi Sudarmadji, kritikus, dosen seni rupa, atau hanya beo?

  1. Dalam diskusi yang lalu, Sudarmadji menyatakan tertarik pada karya Jim Supangkat. Menarik karena – berupa tempat tidur seorang wanita seperti peti mati yang berada di dekat almari yang penuh dengan gembok-gembok terkunci – mengasosiasikannya dengan pengalamannya pribadi semasa kecil, di mana Sudarmadji jangan merasa terkekang untuk berbicara kalau orang-orang tua sedang berbicara.

Jika asosiasi tersebut yang dijadikan alasan Sudarmadji, maka penilaiannya tidak dilandasi masalah kesenirupaan, tapi oleh alasan sebagai benda yang dapat mendatangkan ingatan kembali atas pengalaman yang dirasanya menekannya di waktu lampau. Andaikata waktu kecil Sudarmadji diberi kebebasan yang layak oleh orang tuanya, pastilah ia akan tertarik pada karya lain. Tidakkah dangkal alasannya dalam menilai karya yang dinamakan wakil Seni Rupa Baru.

Alasan-alasan saya, mengapa saya tertarik pada pameran eksperimental ini ialah:

Pertama oleh pelanggaran rasa kesopanan (etik) secara demonstratif melalui benda-benda pameran antara lain:

  1. Tubuh telanjang wanita yang dibalik kakinya ke atas sebagai boneka.
  2. Monalisa sebagai reproduksi da Vinci, dicampur dengan gambar-gambar cabul dengan klimaksnya gambar orang tengah bersenggama.
  3. Bayi yang disuntik kepalanya dengan alat penyuntik yang kelewat besar dengan relief menggambarkan ujung rahim yang melahirkan bayi.
  4. Potret diri pencipta ditempatkan di puncak salib yang jelas menyinggung rasa keagamaan.

Kedua, pendataran mutu estetik dan penggampangan pengertian seni. Seni Rupa Baru Indonesia sebenarnya lebih luas, di sini direndahkan dan disempitkan hanya sampai pada tingkat pop Art dan Optic Art belaka.

Sebagai penutup, perlu saya jelaskan mengenai catatan Sudarmadji yang mengingatkan agar saya jangan terburu setuju terhadap lahirnya Seni Rupa Baru seperti dua pelukis yang namanya disebut-sebut oleh Sudarmadji yant tidak melihat kemungkinan lukisan batik baru.

Bagi saya, kelahiran batik baru dan Seni Rupa Baru 11 seniman muda sangatlah berlainan.

Saya dulu adalah yang pertama menuliskan pameran Mardyanto tahun 1966 di Balai Budaya. Dan ternyata sekarang seni batik kontemporer telah mendapat perhatian baik dari kalangan seni yang luas, baik di dalam mapun di luar negeri.

Bedanya, selain batik baru, sebagian dapat memakai landasan pengalaman tradisi sendiri yang kaya, seni batik ini ditangani oleh kalangan seniman yang lebih dewasa. Sedangkan seni lukis baru 11 seniman muda lahir dengan sedikit sekali landasan idiil maupun teknis yang dikuasai sehingga sebagian mendemonstrasikan ketidaksenonohan.

***

Kusandi nan buruak sangko
Oleh: Sudarmadji

Halo Saudara Kusnadi. Rupanya Saudara masih asyik-masyuk membicarakan nilai Seni Rupa Baru Indonesia yang tadinya Anda katakan – lebih kurang – sampah saja.

Berburuk sangka terhadap hal-hal yang serba baru – atau jika keberatan katakanlah mengejutkan – memang sering kali membikin orang tersipu-sipu, lantaran keliru.

Agaknya, kali ini Anda pun keliru lagi jika mengira saya sudah serta merta menilai baik pameran kesebelasan anak muda itu.

Seperti sudah saya katakan pada tulisan yang lampau bahwa saya sekadar mengingatkan, melakukan kualifikais pada pameran itu pada saat ini terlalu pagi. Apalagi dengan nada keras mematikan.

Dalam tulisan lalu pun sudah saya katakan bahwa komentar yang saya tulis untuk Sinar Harapan adalah informatif, interpretatif. Informasi kepada khalayak ramai via koran bahwa ada gejala seni rupa yang baru di Indonesia yang dilontarkan anak-anak muda. Interpretatif karena betul-betul saya masih sangat hati-hati untuk menanggapi gejala baru tersebut dengan berusaha sedapat mungkin menyelami, menganalisa, menangkap apa maunya para seniman muda itu menampilkan karya-karya yang begitu itu.

Kehati-hatian, apalagi dalam menanggapi seni sekarang yang polu-interpretable, sesungguhnya saya cerminkan juga dalam mencoba menangkap di mana dan bagaimana sesungguhnya wawasan seni Kusnadi itu.

Dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, orang memang susah untuk keluar dari kondisi. Tentu Kusnadi menyadari bahwa situasi dan kondisi pembentukan kepribadiannya adalah lain dengan generasinya Hardi – Jim Supangkat cs. Saya pikir, itulah faktor penyebab tidak komunikatifnya karya anak muda dengan Kusnadi. Dalam tulisan 1 Oktober 1975 yang lalu, saya katakan, “Mereka terbentuk dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan masa muda Kusnadi yang barangkali dikelilingi oleh Rembrant Van Rijn dan sebagainya”.

Tetapi, dalam sambutan Kusnadi selanjutnya – dimuat dalam Kedaulatan Rakyat 12 November 1975 – seolah-olah saya mengatakan bahwa pandangan seni Kusnadi berhenti pada Rembrandt Van Rijn, padahal Kusnadi sendiri yang mengatakan begitu. Dengan logika yang lurus, sesungguhnya di situ terdapat kejadian: Kusnadi menuduh dirinya sendiri, betul nggak.

Lucu sekali. Rupanya tuduhan kepada diri sendiri memang lebih jujur dari pada jika oran glain yang menuduhnya. Buktinya? Inilah kalimat Kusnadi, “Seni rupa Indonesia baru sebenarnya lebih luas dan dalam artinya telah direndah dan dipersempitkan sampai pada tingkat Pop-Art dan Optical-Art belaka”.

Blah, blah, blah, blah. Boleh saja orang macam Kusnadi beraliran impresionisme. Tetapi mengapa dengan Pop-Art dan Optic-Art – sebagai kritikus – harus melihat sebagai sesuatu yang rendah.

Saya memang belum pernah ke luar negeri, tapi buku tebal yang sampai pada tangan saya pernah menyebut-nyebut jago-jago pop macam: Andy Warhol, Robert Rauchenberg, Tom Wesselman, Roy Lichtenstein, Victor Vasarely, Yvaral, Gerald Oster, pelukis wanita Inggris Bridget Riley.

Maaf Saudara Kusnadi, bukan saya yang ngomong bahwa pandangan seni Anda sudah berhenti pada Rembrandt, ya melainkan Anda sendiri.

Apakah barangkali yang Kusnadi sebut dengan merendahkan adalah karena anak muda yang sebelas itu hanya njaplak tanpa pribadi alias telan saja seni Barat? Jika itu maksudnya, masih perlu penunjukkan dan pembuktian. Itu pun Kusnadi harus awaas-awaaas dengan pukulan anak muda lewat satu kalimat tanya: “Sejak kapan seni rupa modern Indonesia tidak makan seni Barat?”

Menilik nama-nama yang dikemukakan Kusnadi: Tuti Herati Nurhadi, Zaini, Nashar, Gatot Kusumo, G. Sidharta, Sudarmadji, dan lain-lain tentunya sudah dengan susah payah Kusnadi telah memutar kembali rekaman pidato di TIM itu. Kali ini, percuma pula Kusnadi membuang tenaga. Apa pun kata mereka – katakanlah semuanya bilang jelek – yang prinsip adalah sambutan terhadap masalah yang tersodor, cukup menggebu. Ini soalnya. Dalam tulisan yang lalu, nama mereka saya sebutkan hanya untuk membuktikan bahwa sambutan cukup. Kalau soal kualitas karya, saya punya pendapat lain.

Kualifikasi atau evaluasi suatu karya seni bukan persoalan banyaknya pendapat yang sama, tetapi bagaimana pendapat itu ditopang oleh analisa, interpretasi, jika mungkin pengukuran dan penyimpulan.

Rupanya, dengan tekun pula Kusnadi mendengarkan rekaman pendapat atau pidato saya di TIM, terutama bagian jawaban saya atas pertanyaan Sardono W. Kusumo yang juga ditujukan pada Sanento, Peransi, dan beberapa yang lain. Bunyi pertanyaannya kurang lebih: “Karya mana yang menari Saudara?” Perlu dicatat, kata “menarik”, mengingat kutipan Kusnadi yang tertulis; “Sudarmadji menyatakan tertarik kepada… dan seterusnya”.

Kusnadi tentulah mengerti dengan baik bahasa Indonesia. Jika saya mengatakan tertarik jangan tergopoh-gopoh menyangka saya sedang menilai. Coba tolong rekaman itu diputar kembali, jawaban saya di sana saya awali dengan; “Pikiran saya ini subyektif… dan seterusnya”.

Uraian saya di atas adalah telaah dari satu segi saja, marilah kita mencoba menelaahnya dari segi lain.

Umpamakan jawaban saya semacam penilaian, sehingga asosiasinya, gejala masa muda dapat dianggap sebagai kriterium dan dianggap dangkal oleh Kusnadi. Alasan dan kriteria Kusnadi di sini ialah alasan “etis”. Sedang alasan saya adalah “psikoanalisis”. Lihatlah betapa sama saja tarfnya. Keduanya adalah kriteria ekstrinsik. Dus, logis saja jika yang sebelah dangkal, yang sebelah lainnya pun dangkal.

Syahdan, adalah aliran kritik seni baru (New Criticism atau Intrinsic Criticism) yang berpendapat, lebih kurang bahwa dalam mencari kriteria penilaian karya seni seyogyanya orang memungut kriteria intrinsik. Dalam hal seni rupa, ukuran itu terletak tentunya pada wujudnya yang jika dijabarkan akan terdiri dari: garis, tekstur, warna, ruang, bentuk, dan sebagainya. Dus, bukan aspek religinya, aspek etisnya, aspek psikologisnya, temanya, dan sebagainya. Kritik seni baru ini lahir bukan sekadar mengada-ada atau mau mengejutkan Kusnadi dan saya, tetapi ia lahir dari gejala obyektif lantaran lahirnya konsepsi seni yang dikatakan “teori formal”. Sedang bagi mereka yang menganut Contextual Criticism, memang akan banyak memasukkan bermacam faktor dan segi pertimbangan, umpamanya: sejarah, psikologi, politik, etik, sosiologis, pedagogis, dan lain sebagainya.

Maaf Saudara Kusnadi. Jika soalnya bukan soal dangkat atau tak dangkal hingga jika Saudara menuduh saya telah berbuat dangkal dalam penilaian karya snei, harus Anda akui; Anda pun tak lebih dari saya. Acc?

Yang terakhir, soal Muryoto Hartoyo. Nah, ini dia musuh saya sejak ia masih menjadi mahasiswa saya. Tetapi jangan keliru Saudara Kusnadi, musuh dalam arti baik, sparing partner, begitulah istilah tinjunya.

Kusnadi rupanya belum membaca komentar saya di Sinar Harapan. Dari kesebelas peserta itu, justru Muryoto-lah yang kena semprot halus saya. Begini bunyinya, “Sesuai dengan kredonya sendiri yang menyatakan bahwa melukis adalah main-main, tidak perlu harus dilakukan dengan penuh haru, mendalam, serius, maka pengambilan material kesenilukisannya yang terasa sembarangan itu memang menjadi klop. Apakah ini suatu sindiran kepada gejala yang banyak melingkunginya? Atau sindiran kepada diri sendiri. Masih perlu pengamatan selanjutnya. Tetapi mungkin juga pengamatan serius kurang diperlukan. Barangkali cukup pengamatan main-main ibarat orang memcahkan telur untuk campuran bikin martabak. Biasanya sambil memecah sambil bertanya: Beli berapa biji?”

Itulah Saudara Kusnadi sindiran saya pada Muryoto yang pada pendapat saya halus, tapi menusuk ke jantung selain juga ada humornya.

Menjawab pertanyaan Kusnadi yang berbunyi, “Jadi, apa fungsi Sudarmadji, sebagai kritikus, dosen, atau hanya beo?” Jawabannya, “Sebagai kritikus, bolehlah. Sebagai dosen, kiranya cukup halus, humorous, kena, dan masih tetap edukatif. Tapi yang sebagai beo, ah masa iya”.

Saya tidak akan meminta Anda menarik penggelaran “beo” pada saya walaupun cukup bukti yang sebaliknya, seperti uraian saya di atas yang mengenai karya Muryoto.

Nah, saya yakin, Kusnadi akan malu untuk kesekian kalinya karena jurus-jurusnya selalu sipi. Dan bagaimana kalau ditanyakan di mana tempat Anda sesungguhnya sebagai Kepala Dinas Seni Rupa Direktorat Kesenian yang seyogyanya membina pertumbuhan seni, membangkitkan gairah generasi penerus jika ucapan yang disediakan: Vulgari, overacting, pornografis, vandal. Sedang sambil menyebut-nyebut pornografis, lupakah Kusnadi akan kesenian kita yang tergores pada daun lontar di Bali, gerbang Candi Sukuh, adegan-adegan persetubuhan di candi Jawa Timur? Supaya tidak lupa saja.

Selalu beserta salam.

***

Terakhir untuk Sudarmadji
Oleh: Kusnadi 

Catatan redaksi: dengan dimuatnya tulisan ini, kami anggap “selesailah” polemik mengenai “Seni Rupa Baru Indonesia” antara Kusnadi dan Sudarmadji. Sampai jumpa pada lain kesempatan.

Dengan pengutaraan yang saya lakukan mengenai inti sari rekaman dari pendapat dan pandangan para pelukis dan pengamat seni seperti: Zaini, Nashar, G. Sidharta, Sunaryo, Tuti Nurhadi, Gatot Kusumo, pada diskusi di TIM tempo hari, nyatalah, Sudarmadji tak dapat mengungkiri lagi bahwa pandangan 11 seniman muda tak dapat meyakinkan kalangan seni yang matang dan dewasa.

Sudarmadji menganggap ini sebagai rangkaian sambutan saja. Ini adalah pembabibutaan yang tak pantas untuk diteruskan sebagai pembicaraan koran yang diikuti umum. Ini pun berarti bahwa Sudarmadji tak mempunyai kemampuan membawakan komunikasi yang diterima masyarakat seni tanpa paksaan sepihak. Saya tidak percaya bahwa nama-nama di atas lebih bodoh dari Sudarmadji dan jelas sebagian besar sudah pernah melihat berbagai kegiatan seni di luar negeri, sedang namanya berhubungan erat dengan prestasi seni atau di bidang psikologi.

Kalau penolakan dianggap sambutan oleh Sudarmadji, maka seorang pencuri yang tertangkap basah oleh masyarakat dan pihak kepolisian walaupun babak belur, bolek dikatakan sukses karena mendapat sambutan dari masyarakat yang beramai-ramai memukulinya.

Logika Sudarmadji yang keterlaluan ini membuat saya lebih baik tak menulis apa-apa lagi. Dan penghentian ini pun sesuai dengan tulisan saya yang pertama yang tidak ditujukan kepada Sudarmadji, tetapi kepada kalangan seni yang lebih luas di Yogya oleh seorang pengiterviu.

Terserah apa dalam pameran yang mendatang tema pornografi akan ditonjolkan lebih gila-gilaan atau akan menipis ke arah hilang, akan membuktikan mana yang berpengaruh sebagai pedoman, perlindungan ala Sudarmadji yang justru membelanya atau penolakan saya.

Andaikata terbuktu makin menipis atau hilang maka kritik yang diusahakan Sudarmadji artinya tidak didengar. Sudarmadji boleh mengharap menang, demi suburnya penyebarluasan pornografi yang masuk ke dunia seni rupa lewat 11 seniman muda dengan pembelaan Sudarmadji lewat perisai Candi Sukuh dan kecabulan lainnya. Ini jawaban saya, mengapa saya menolak “cabulisme” dan yang berkaitan dengan dinas.

Dinas yang membina estetik seni rupa secara murni. Kalau Sudarmadji membiarkan bahkan membela pornografi dalam seni rupa angkatan muda, maka tipe perlindungan saya, saya arahkan pada ratusan angkatan muda yang murni di luar seniman muda yang 11 itu, seperti yang terdapat di SSRI, ITB, ASRI, dan LPKJ. Dan Masyarakat Indonesia secara lebih luas.

Jika Sudarmadji tidak merasa bertanggung jawab terhadap apa yang saya kemukakan di atas, baik etis maupun estetis, maka tepatlah dugaan saya bahwa ia adalah pelindung di satu pihak dan beo di pihak lain.

Apakah kritik yang bersifat intrinsik lebih penting dari ekstrinsik? Menurut saya, kritik yang memasyarakat, membudaya selalu merupakan gabungan dari keduanya. Kritik bukanlah penerus kemauan atau idam-idaman seniman apalagi dari yang setengah seniman. Jika kita bilang warna dan garis-garis ilustratif masih mentah dari berbagai karya dalam pameran ini, itu adalah masalah kritik yang bersifat intrinsik. Walaupun ada satu dua yang lebih baik, tapi rata-rata nampak mentah sekalipun diekspresikan lewat Pop-Art dan Optic-Art yang baru setengah jadi itu.

Berbahagialah Sudarmadji yang tidak dapat melihat apa yang kita katakan sebagai kementahan dalam warna maupun garis yang membuat pameran ini baginya lebih bagus dan membuatnya percaya bahwa itu seni baru Indonesia yang menurut saya baru ramai-ramai mencari dan masih repot tekniknya.

Usaha-usaha saya menanggapi Sudarmadji bukanlah sia-sia seperti yang diutarakannya berkali-kali yang mirip memperpanjang tulisan saja. Tapi saya lakukan dengan kerapian pertimbangan penulisan karena tanggung jawaba yang etis-estetis-kemasyarakatan dalam seni selama ini.



Comments are closed.