Kul, keren dan gaul VS mbentoyong (11 Januari-8 Februari 2009)

w4wi

Sumber foto: Twitter @parallab

Harian KOMPAS, edisi Minggu, 11 Januari 2009. Halaman: 29

YANG KEREN DAN TERKENDALI

Siapa pun yang rajin nonton pameran seni rupa kontemporer tak akan heran ketika melihat karya seni yang terbuat dari benda sehari-hari seperti kursi, batu bata, lampu kelap-kelip plus efek ini itu, foto-foto, tulisan dan gambar oret-oretan di dinding, barang-barang bekas (asli dan tiruan), atau tayangan video yang berisi potongan-potongan adegan yang diulang-ulang dan sejenisnya.

Benda-benda yang dirakit dalam bentuk tertentu itu lazim disebut seni instalasi. Almarhum Profesor Sudjoko punya istilah “seni pepasang” buat seni semacam itu. Belakangan anggapan seni instalasi muncul lantaran para seniman tidak puas dan tidak percaya lagi terhadap media atau segala wujud artistik kuno yang disebut “seni murni”. Bagi mereka, seni rupa dapat dibuat dari apa saja dan dapat berlangsung di mana saja: ruang pameran, ruang makan, tempat tidur, jalan raya, etalase, kamar mandi, layar komputer, pematang sawah, tepi sungai, kuburan dan sebagainya dan sebagainya.

Tubuh, politik, mistik, metafisika, ice cream, jazz, dangdut, jender, iklan sabun, dan demo masak dapat ditampilkan secara serempak tanpa perlu takut apakah semua percampuran itu nyambung atau tidak.

Bukankah dunia kita hari ini memang tampil dalam bentuk serpihan yang fragmentatif, penuh ambiguitas, kontradiksi, dan paradoks? Bukankah semua hal di sekeliling kita nongol begitu saja, satu sama lain banyak yang enggak nyambung? Lalu bagaimana merangkum segala yang acak-acakan, saling bertentangan, terpotong-potong dan muncrat sana sini itu dalam karya seni?

Sebagian seniman menjawab: “Ya sudah, tampilin saja segala yang enggak nyambung dan berserakan itu sebagaimana adanya. Enggak perlu dipoles-poles”. Danseniman lain yang memuja laku penciptaan seni rupa sebagai upaya untuk keluar dari kebuntuan “seni murni” akan bilang: “Menciptakan seni dengan mengembangkan berbagai elemen baru semacam itu bukan perkara sepele. Ada banyak alasan untuk melakukannya, termasuk kebutuhan seni untuk merepresentasikan realitas sekaligus tidak terjebak pada bentuk-bentuk representasi yang justru membatasi realitas itu sendiri”.

Bagi mereka penggunaan serbamedia dalam seni rupa selain untuk merangkum serbarealitas yang silang sengkarut acak-acakan enggak keruan, juga didorong oleh tendensi tertentu yang mengacu pada faktor-faktor dominan dan dianggap penting dalam art world yang melingkupinya, termasuk kebutuhan pasar.

Keyakinan semacam ini biasanya berlaku pada seniman kontemporer yang sudah mapan. Kebanyakan dari mereka adalah lulusan ISI dan tinggal di Yogyakarta yang cenderung berkarya dalam situasi mbentoyong alias terbungkuk-bungkuk memanggul beban estetik tertentu. Tapi semangat mbentoyong itu tidak selalu diikuti oleh pemahaman yang memadai mengenai wacana seni rupa kontemporer itu sendiri. Seniman Jogja memang cenderung memiliki skill yang oke, tapi mereka biasanya hanya mengandalkan bakat alam. Minat baca mereka tergolong rendah.

Dan ketika melihat beberapa pameran seniman muda Bandung saya melihat bahwa mereka lebih rileks dan enggan mendramatisir tendensi atau beban kesenimanan semacam itu. Seniman muda Bandung cenderung tidak mbentoyong. Tapi bukan berarti mereka tak peduli dengan berbagai terobosan yang dibuka oleh perkembangan paradigma estetik terkini. Minat baca mereka relatif lebih baik ketimbang seniman Jogja.

Sikap rileks itu kembali tampak pada pameran “Bandung Art Now” (Galeri Nasional, Jakarta, 7-17 Januari 2009). 26 seniman (individu dan kelompok, mayoritas belajar seni rupa di ITB) ramai-ramai datang ke Jakarta di bawah komando kurator Aminudin TH Siregar. Pada acara pembukaan datang juga kontingen berduyun-duyun menyewa banyak bus hingga Galeri Nasional penuh sesak oleh anak-anak muda gaul dan kul dan keren. Ada kurator Rizki A Zaelani sebagai bapak guru yang gemuk (dan suka menulis dengan mengutip buku-buku bahasa Inggris), lalu seniman-kurator Asmudjo J. Irianto sebagai dosen yang sangat gaul (dan suka nongkrong di mal), pake topi dan kacamata model anak band masa kini.

Suasana gaul

Di kampus ITB para kurator dan dosen muda ini membawa suasana gaul ke ruang kelas, asyik berbaur dengan para mahasiswi yang mirip cover girl seperti Syagini Ratna Wulan (yang juga sangat akrab dengan pemikiran mutakhir model filsafat posmo dan buku-buku seni terpenting). Sebagian dari mereka memperlakukan berbagai pemikiran berat itu sebagaimana mengunyah permen atau menelan ice cream.

Tentu tampang mereka berbeda dengan seniman Jogja yang biasanya anak petani atau keluarga agraris pedalaman. Begitu masuk ISI jadi gondrong dan bulukan supaya dapat menggaet cewek-cewek bule. Mimpi mereka cuma satu: Pingin jadi seniman kaya model mbentoyong tadi.

Kalaupun mereka menggarap tema-tema yang lagi ngetren dan mengolah bahasa pop, biasanya didasari oleh tendensi estetik dalam bentuk wacana ini itu yang belum tentu mereka mengerti dengan baik. Kultur kota dan pop pada dasarnya memang bukan bagian hidup mereka.

Sementara bagi sebagian seniman muda Bandung segala ihwal kebebasan ekspresif model gaya hidup pop (beserta segala kemungkinan bahasa visual kota yang artifisial) sudah menjadi makanan sehari-hari.

Banyak anak muda Bandung (termasuk kelompok-kelompok indie) yang fasih menggunakan bahasa pop perkotaan menjadi karya-karya ekspresif dalam cakupan yang lebih luas. Sebagai seniman berlatar belakang akademi (seni rupa ITB) mereka memiliki modal yang cukup buat merayakan kebebasan model anak muda perkotaan yang ngepop sehingga dengan enteng dapat mengolah serbatema dan serbamedia menjadi karya-karya yang segar.

Kita menyaksikan Faisal Habibie dan Syagini yang enjoy mendistorsi bentuk, evidensi, dan fungsi kursi, Yusuf Ismail dengan video “Ketik REG Spasi”-bagi siapa saja yang pengin jadi seniman kaya-sebagai sarkasme terhadap maraknya jasa paranormal atau konsultasi ini itu lewat SMS di televisi (dengan model kurator Rifky Effendi sebagai si paranormal). Lalu kelompok Tromarama yang bikin video instalasi di ruang kelas (anak-anak), JA Pramuhendra yang membuat gambar charchoal di kanvas ukuran besar, Dendy Darman dengan tumpukan kontainer (Nevergreen), Prila Tania dengan serial fotografi, dan lain-lain.

Kurator Aminudin TH Siregar bilang, “Secara umum tema karya-karya mereka bertolak dari keresahan personal. Kendati demikian, cara meramu permasalahan keseharian masing-masing di situ merupakan hasil dari persinggungan mereka dengan problematika sosial umum yang tengah berlangsung di Indonesia.juga menghadirkan sisi lain dari kerumitan memahami identitas-untuk menjalani hidup di tengah berbagai perubahan di Tanah Air yang demikian cepat.”

Saya setuju dengan pernyataan tersebut. Tapi yang lebih menarik adalah ketika melihat bagaimana para seniman muda Bandung itu berusaha melakukan “kontrol” terhadap kerumitan batas-batas representasi dari realitas yang campur aduk, terpecah-pecah, dan menyebar seperti fragmen-fragmen yang saling bertentangan dan kadang saling berkelindan menuju penyesuaian dan keseimbangan tertentu tapi pada saat lain menggumpal tak tertembus. Di sana-sini tercium juga aroma teror dari karya-karya mereka. Tapi aroma itu tak terlalu tajam. Tak ada yang berderak brutal di situ. Juga tak ada kengerian yang bikin gemetar.

Semuanya masih mungkin untuk “dikontrol”. Hampir semua karya dibuat dengan penuh perhitungan. Lantai dan ruang galeri terasa bersih dan terukur. Segala potensi ambiguitas, absurditas, paradoks, ketidakpastian, dan kehampaan makna ditangani secara rileks tapi terkendali. Saya tak tahu kenapa para seniman muda yang kul dan keren itu kini jadi tampak jinak dan tertib. Entahlah. Tapi karier mereka masih panjang. Semoga mereka tidak akan jadi seniman model Jogja yang agraris tapi sok keren dan meng-kota, tapi enggak nyampe itu.

Wicaksono Adi
Kritikus seni
Foto
Kompas/Yuniadhi Agung. Pameran Bandung Art Now di Galeri Nasional, Jakarta.

*******

Harian KOMPAS, edisi Minggu, 18 Jan 2009. Halaman: 28

YANG “MBENTOYONG” YANG KEREN, “EUY”…

Bayangkan jika seniman-kurator Asmudjo J Irianto yang sangat gaul itu tidak pake topi dan lupa berkacamata model anak band masa kini. Maka ia tampak sangat agraris pedalaman dan sama sekali tidak keren. Meski memaksakan diri setiap hari nongkrong di mal. Bayangkan pula jika pelukis kaya raya Nasirun yang pernah kuliah di ISI Yogyakarta tiba-tiba rapi, necis dan wangi serta menyetir sendiri mobil mewahnya. Keren bukan? Bukan seperti yang kita kenal selama ini hitam, dekil, gondrong awut-awutan, dan enggak pernah bisa nyetir. Tentu apabila Nasirun mau, bisa rajin ke salon untuk manicure-pedicure, spa, whitening, dan aneka perawatan lainnya. Bahkan ia bisa membayar kursus privat sekolah kepribadian, sekolah mengemudi, bahasa Inggris dan anger management sekaligus. Maka Nasirun tidak bakal ketahuan karakter agrarisnya meskipun sejatinya ia anak petani pedalaman.

Kampungan atau ndeso atau penampilan agraris sudah bukan saatnya lagi diperbanding- bandingkan dengan kota yang keren, gaul, cool atau semacamnya, apalagi ketika membicarakan seni rupa kontemporer Indonesia. Dikotomi naif macam itu, masihkah diperlukan? Bahkan mengulik perbedaan mazhab (masihkah ada?) antara Jogja-Bandung pun telah tiada relevan lagi. Mengenai seni rupa; hal utama yang harus diperhatikan adalah bukan rupa si perupanya melainkan soalan rupa karya alias visualnya. Selain itu, tidak boleh dilupakan, seberapa cerdas tampilan rupa tersebut di-re/presentasikan. Dan benar, salah satu—bukan satu-satunya—cara menjadi cerdas adalah dengan membaca.

Membaca dan minat baca (buku/literatur) sering salah dimengerti sebagai satu-satunya ukuran untuk menentukan kecerdasan seseorang. Ia (membaca buku itu) sekadar alat yang tidak serta-merta menunjukkan hasil. Ada begitu banyak metodologi yang bisa dipilih demi menjadi cerdas. Membaca realitas adalah salah satu yang lainnya. Kecerdasan dalam seni rupa dapat dikenali dari karya seni rupa yang bersangkutan. Menjadi keren atau tidak cuma masalah penamaan. Karena sesungguhnya ukuran sebuah karya seni hanyalah baik atau buruk. Sederhana, itu saja.

Namun tentu bukan hal sederhana agar dapat menciptakan karya seni yang baik. Diperlukan berbagai kaidah dan instrumen yang harus dipelajari dan dikerjakan sebelumnya. Itu pun masih akan dipengaruhi oleh ruang, waktu, dan hal lain yang melingkupinya. Pendeknya butuh menjadi seniman yang baik agar dapat menghasilkan karya yang baik. Seniman terbaik hasilnya terbaik juga, yang cerdas menghasilkan karya cerdas, begitu seterusnya.

Agar lebih mudah dipahami. Berikut di bawah ini sebuah contoh. Seorang calon seniman memilih kuliah di ISI Yogyakarta. Tentang dari mana ia berasal, anak petani atau bukan, orang kota atau desa, kita kesampingkan dahulu. Selanjutnya sebagai mahasiswa ia harus menaati hal-ikhwal belajar-mengajar di kampusnya hingga ia dinyatakan lulus. Soal ia memilih tidak lulus atau bahkan dikeluarkan, itu soal yang berbeda. Apa pun itu, maka ia mendapatkan pelajaran berkesenian sebagaimana yang diajarkan di kampus tersebut. Ini adalah premis pertama.

Premis kedua. Karena ia tinggal di Jogja-tidak mungkin mahasiswa ISI Yogyakarta menetap di Bandung dan atau kota besar Jakarta, namun bisa setiap hari masuk kuliah, kecuali ia mampu menyewa pesawat terbang atau helikopter setiap harinya-maka sosiologi, geografi, demografi, adat budaya, dan apa pun tentang Yogyakarta pasti memberi pengaruh terhadap sikap hidup dan berkeseniannya. Kecuali jika ia sengaja menutup diri dari pengaruh di luar dirinya. Maka (lagi) gaya berkesenian, kedalaman konsepnya, siapa rekan bertukar cakapnya, siapa idolanya, pameran apa yang ia saksikan dan seterusnya tentu terpengaruh (seberapa besar atau kecil,

pameran apa yang ia saksikan dan seterusnya tentu terpengaruh (seberapa besar atau kecil, bukan masalahnya) oleh keyogyakartaannya.

Kedua premis tersebut berlaku universal, artinya silakan mengganti ISI d/h STSRI ASRI dengan ITB, pun dengan Yogyakarta diganti Bandung. Bahkan masih berlaku seandainya kita mengandaikan seorang calon seniman warga negara Palestina yang belajar di ISNY, Institut Seni New York misalnya. Tinggal aplikasikan saja.

Premis ketiga, terakhir. Adalah soal pilihan. Katakanlah contoh mahasiswa di atas, datang dari desa nun pelosok pedalaman. Ia boleh menjadi seniman agraris sebagaimana ia berasal, boleh juga menjadi kota nan keren, tapi artifisial sebagaimana yang ia inginkan. Sekadar informasi, perupa internasional Heri Dono lahir hingga lulus SMA di Jakarta, namun tetap memilih menjadi agraris nan eksotik. Lihat penampilan kesehariannya, lebih memilih meletakkan sebarang kain etnik di rambut gondrongnya daripada memakai topi modis seperti Asmudjo. Bersandal jepit lusuh daripada bersepatu mahal laksana seorang Aminudin TH Siregar. Jalan kaki atau naik sepeda ke mana-mana daripada naik ‘Inova’-nya Tisna Sanjaya. Meskipun demikian saya haqul-yakin, Heri Dono jika mau bersolek bisa berpenampilan bak metroseksual. Bila ia berkehendak, boleh jadi lebih tampan daripada bintang film Ferry Salim. Namun dia memilih agraris lahir batin. Artinya, penampilan karya seni rupanya sekalipun tetap bersuasana bahkan berdasar pemikiran/berkonsep malah berideologi yang agraris. Sekali lagi ini masalah pilihan.

Ketiga premis alias patokan duga tersebutlah yang paling menentukan kesenimanan seseorang. Bagaimana ia menempa diri dan seperti apa hasil tempaan itulah yang boleh dijadikan ukuran baik- buruknya. Menjadi keren atau bukan adalah tidak lebih dari penyebutan setara bonus. Dan lagi arti kata “keren” yang saya temukan dari kamus dan tesaurus bahasa Indonesia adalah; tampak gagah dan tangkas, aksi, cogah, elegan, necis, perlente, rancak, solek, elok, menawan. Bahkan kata tersebut juga diartikan sebagai; galak, garang dan lekas marah. Dengan kata lain menjadi keren itu tidak alamiah, tidak natural alias artifisial atawa dibikin-bikin. Padahal katanya kesenian merupakan ungkapan ekspresi murni kejujuran.

Jujur, harus diakui situasi dan kecenderungan mbentoyong, yang diterjemahkan secara berlebihan sebagai terbungkuk-bungkuk memanggul beban estetik tertentu, adalah produk khas Jogja atau premis kedua di tulisan ini. So what? Secara berlebihan pula, saya bertanya, bagaimana mungkin dikatakan sebagai kesenian jika tidak memiliki muatan estetik sama sekali? Mbentoyong adalah pujian yang menunjukkan betapa telah bekerja kerasnya perupa Jogja demi tanggung jawab atas kelimpahan bobot estetik yang dimilikinya. Semoga tidak berlebihan; itulah “keren” yang bisa Anda saksikan dari karya visual anak-anak Jogja. Meskipun demikian sesungguhnya perupa Jogja tidak terbungkuk- bungkuk benar. Terbukti dalam keseharian kesenimanan Jogja jika dibandingkan dengan Bandung misalnya, tak terbatas tua-muda. Jogja jauh lebih santai, rileks, ringan, dan lucu. Bandung terkesan terlalu tertib, terkendali, serius, dan selalu ingin terlihat cerdas. Jogja tak lagi ingin terlihat karena ia sudah jelas kelihatan.

Ah, kenapa saya jadi ikut-ikutan bermain banding-bandingan? Perbandingan menjadi akurat dan perlu manakala keduanya (obyek dibandingkan) memiliki ukuran yang pasti, setidaknya ada parameter yang sama dipakai kedua obyek tersebut. Disiplin seni bukan ilmu pasti, bahkan ia jauh lebih sosial daripada ilmu sosial. Dalam keriuhan pasar dan belum jelasnya parameter yang disepakati bersama ini, adalah tidak bijaksana memperbandingkan selanjutnya secara gegabah menilai hasil komparasi dipaksakan tersebut. Lebih parah lagi semua hal itu dilakukan oleh pemuda agraris yang silau dengan gemerlap kota dan kepincut untuk memikat dan atau menjadi bagian yang sesungguhnya artifisial belaka. Bahwa setiap lokal, lokasi, lokalis, lokus, dan lokalisasi punya sifat dan karakter tersendiri, namun mereka bukanlah bahan dasar untuk menempatkannya sebagai stereotype.

Nyatanya seorang Tisna Sanjaya yang orang Bandung tulen menggunakan jengkol, anyaman bambu, air, arang yang agraris dan dikemas alias “dibunyikan” dengan pendekatan agraris pula. Sebaliknya, Samuel Indratma yang pemuda asli Gombong kemudian kuliah tanpa pernah lulus di Jogja membuat mural (aktivitas seni yang sama sekali tidak agraris, justru sangat urban) di tembok-tembok kota. Menurut pengakuannya ia pernah membuat mural di San Francisco, Amerika Serikat sana.

Ada persoalan yang jauh lebih darurat di seni rupa, untuk apa buang energi memikirkan urusan remeh-temeh? Setiap ruang, setiap waktu pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tak ada guna saling menghina, mari saling membina. Ayo bermain kritik bukan cerca. Lupakan dari mana kau berasal, bersama atau kepada siapa kau belajar, tak ada yang tak mungkin untuk dikejar, karena sesungguhnya seni itu universal.

Yuswantoro Adi
Pelukis, tinggal di Yogyakarta

 

*******

Harian KOMPAS, edisi Minggu, 01 Februari 2009. Halaman: 28

POTRET PERUPA YOGYAKARTA:
DARI KEPURBAAN NASIRUN SAMPAI MIMPI SAMUEL

Penulisan hasil pembacaan atas seseorang atau sekelompok orang sebenarnya tidak bisa sekali selesai. Apalagi ketika mengundang reaksi pihak lain. Adi Wicaksono telah mengetengahkan pembacaan sosiologis para perupa Bandung dan Yogyakarta, menelusur tempat asal dan gaya hidup mereka (Kompas, 11 Januari 2009). Agaknya ada sejumlah pihak terkena goresan pisau analisis Adi Wicaksono, berasal dari wilayah agraris tampil dengan rambut gondrong, dan keberatan beban memanggul beragam konsep (mbentoyong). Mereka menjadikannya bahan pembicaraan serius. Seorang perupa menganggap tulisan Adi sebagai guyonan Basiyo, dagelan khas Yogyakarta, gerundelan yang menertawakan diri sendiri.

Bukankah dia pernah menjadi bagian dari kelompok Yogyakarta dengan rambut gondrong dan mbentoyong pula. Tulisan ini melengkapi pembacaan perupa Yogyakarta berangkat dari event penutupan tahun 2008.

Pak Tjipto Wibakso, pelukisdari tobong wayang wong, meninggalkan lukisan yang belum selesai pada kanvas besar (4 x 2 meter). Goresan Pak Tjip menghadirkan panorama alam gunung berlangit biru dan sungai bergemericik air yang pinggir-pinggirnya ditumbuhi pepohonan perdu hijau. Khas karya-karya pelukis yang banyak dijajakan di trotoar kaki lima di berbagai kota. Karya tersebut direspons Samuel Indratma, diberi tajuk “Low Art Society”. Apakah tajuk tersebut bermaksud menunjuk pada karya Pak Tjip dengan kekhasan lukisan panorama atau mengungkap keterlibatan Samuel dalam Jogja Mural Forum yang memuralkan Yogyakarta? Hal tersebut dapat didiskusikan tersendiri. Eksekusi akhir “Low Art Society” menampilkan seorang pria berjenggot membujur di atas sebuah bathtub sambil bergumam. Di sekeliling bathtub itu, sejumlah manusia (pelayan?) yang dengan seluruh tenaganya menopang kenikmatan sang pria berjenggot mandi berendam. Itulah eksekusi akhir hasil kolaborasi Samuel Indratma dan Putu Sutawijaya merespons goresan awal Pak Tjip. Eksekusi akhir “Low Art Society” menghadirkan kekhasan Putu Sutawijaya dengan figur-figur manusia dalam aktivitas massal mereka. Sekaligus, juga mengungkap kerinduan (mimpi) Samuel yang mau mengatasi determinasi dirinya, warga dari masyarakat agraris tetapi bisa menikmati mandi berendam. Melacak pengalaman personal Samuel, mimpi mandi berendam rupanya punya kisah tersendiri. (Maaf, yang terakhir ini bukan untuk konsumsi publik.)

Yuswantoro Adi menanggapi secara lincah tulisan Adi Wicaksono (Kompas, 18 Januari 2009). Bukan untuk membela diri, tapi lebih melengkapi pembacaan Adi Wicaksono. Salah satu perupa yang disebut Yuswantoro Adi adalah Nasirun. Perupa yang karyanya mendapat nilai tukar tinggi di bursa lukisan. Tapi Nasirun tetap tampil seadanya dengan rambut gondrong dan jenggot dipilin. Pada gelar seni kerakyatanpergantian tahun 2008, karya yang digarap Nasirun khas, sosok dengan sepatu wayang (tapi dimodifikasi jadi sepatu lars cowboy dengan menambahkan gerigi-gerigi di kanan kiri sepatu). Sosok purba yang dihadirkan dengan warna purba: merah, emas (prada, Jawa), dan hitam. Kepurbaan, dari bentuk wayang dan warna-warnanya dipadukan dengan kepurbaan nafsu (manusia) sampai sosoknya menjadi terbongkok- bongkok dan lidahnya menjulur keluar. Bahkan, maaf, alat kelaminnya juga menjulur memanjang. Sekaligus sosok itu didandani dengan aksesori selera masa kini, kacamata dan sepatu lars cowboy. Nasirun tetap Nasirun, tampil purba. Karyanya juga mengalir dari kerpurbaannya, menghadirkan yang serba purba, bentuk, warna, dan nafsu. Kendatipun diberi aksesori barang-barang masa kini. Kepolosan Nasirun mampu menghadirkan kiat holding the global locally, promoting the local (archaic) globally. Dan ini mendapat apresiasi tinggi, tak hanya dari dunia kritikseni, tetapi juga nilai tukarnya dari para kolektor.

Kekayaan warna lokal Yogyakarta masih belum selesai. Di tengah kolaborasi Andre Tanama, Bambang Herras, Budi Ubrux, Hari Budiono, Melodia, Yuswantoro Adi, yang masing-masing memiliki kekhasan dalam tema karya dan goresannya, Ong Hari Wahyu membubuhkan frase “Doa Ibu” pada bagian paha seorang gadis. Mereka berkolaborasi mengerjakan lukisan dengan model seorang gadis setengah tidur. Sampai lewat tengah malam setelah pergantian tahun, karya bersama tersebut tidak beda dengan lukisan pada bak truk bagian belakang. Seorang gadis setengah tidur dengan tulisan-tulisan “Doa Ibu”, “Selalu on Time”, dan lain- lain. Khas lukisan kerakyatan yang banyak ditemui pada kendaraan angkutan umum di sepanjang jalan di Jawa. Dalam pengerjaan selanjutnya, Ong Hari Wahyu menyodorkan konsep (akhir) karya kolaborasi “Perempuan Menanti Fajar” hadir dalam seorang gadis setengah tertidurbermandikan hujan mawar merah. Dengan latar kuning, gadis yang menyanding perahu-perahu kertas goresan Dyan Anggraini berubah menjadi “Perempuan Menanti Fajar” yang sangat romantis. Adakah ini mencerminkan kerinduan Ong Hari Wahyu? Inilah salah satu gambaran dunia perupa Yogyakarta. Potret ini diperoleh dari peristiwa bersama saat melewati pergantian tahun 2008 dalam Gelar Seni Kerakyatan bertajuk “Seniku Tak Berhenti Lama”.

Setelah melewati gelar malam tahun baru, karya-karya yang dihasilkan masih menjalani sentuhan akhir juga dalam kolaborasi sehingga (lebih kurang) layak dipamerkan. Yang mau ditunjukkan di sini, yang diolah para perupa Yogyakarta, tak sebatas pengalaman keseharian dalam berinteraksi dengan rupa-rupa benda fisik. Benda-benda fisik sebagai bagian dari pengalaman hidup atau aksesori yang menandai seseorang tak ketinggalan zaman, seperti kacamata dan sepatu lars, dileburdijadikan satu bagian. Yang dominan tampil sebenarnya justru “dunia dalam” dari pengalaman pribadi yang terus dihidupi. Mimpi, kerinduan, dan rasa romantis ditampilkan tidak dengan cara picisan atau bergenit ria.

Dunia dalam dari pribadi para perupa dieksplorasi bersama dan dileburkan dalam pengalaman sosial. Memang ada juga yang ditampilkan dalam bentuk dan warna purbanya. Para perupa, mereka tak terasing dengan dirinya, tak terasing dari masyarakatnya, dan tidak terpukau atau dikuasai alam benda yang tak lebih dari aksesori, pernik-pernik sekadar benda pelengkap. Pengalaman estetisnya dijelmakan dalam karyanya.

G Budi Subanar
Pengajar pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

 

*******

Harian KOMPAS, edisi Minggu, 08 Februari 2009. Halaman: 28

MEMBONGKAR BLOKADE

Gejala paling menarik dalam perkembangan seni rupa Indonesia dua puluh tahun terakhir adalah perluasan “bobot kehadiran” seni visual dari disiplin “seni murni” yang terbatas menuju seni serba media sebagai rangkuman segala yang tak beraturan dan kadang tak terurai namun dapat disentuh sebagai kesatuan mandiri maupun dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk representasi serupa di sekitarnya.

Sebelumnya, pada 1980-an di bidang teater sudah muncul gejala pergeseran “bobot kehadiran” pementasan yang tak lagi bertumpu pada “cerita” dan manusia sebagai sosok (karakter) utuh, melainkan pada rangkaian peristiwa, komposisi ruang, dan permainan visual. Dalam susunan ruang dan bangunan visual tersebut berserakan peristiwa acak mirip fragmen-fragmen yang seolah tak memiliki struktur utuh. Dari peristiwa yang satu melompat ke peristiwa lain tanpa urutan yang jelas. Kadang di antara berbagai peristiwa tersebut tak terdapat kaitan sama sekali: yang absurd, kontradiktif, paradoksal, anatagonistik, teraduk dengan ikon-ikon pop, kebrutalan dunia impersonal akibat politik, kapitalisme, fundamentalisme agama, anarki, dan omong kosong sekaligus. Dan pada 1990-an mulai muncul karya sastra (cerpen dan novel) yang takmelulu bertumpu pada “cerita” utuh-bulat melainkan teks yang mengajak pembaca untuk menikmati kalimat-kalimat dan susunan imajerinya.

Seni jadi semacam pantulan dari realitas yang kadang bergerak menuju titik tertentu kadang menyebar dan saling bertentangan. Dan karena mustahil merangkum seluruh dimensi realitas semacam itu dalam representasi tunggal, maka perwujudan seni akan berada dalam pusaran dimensi-dimensi yang bertolak belakang atau saling sejajar dalam garis tegangan pada momen dan sekuen tertentu dengan pola yang tak dapat ditentukan.

Hal itu merupakan cerminan dari pengalaman bangsa (berkembang) yang menerima modernitas sebagai entitas yang hadir tak secara utuh dan selesai, melainkan suatu proses yang seakan tanpa desain dan saling berkelindan dengan berbagai kekuatan tradisional. Suatu proses yang tidak berlangsung secara linier melainkan cenderung simultan: Saling menyerap, dan saling menolak untuk menemukan titik ikat, satu saat surut ke belakang pada saat lain melompat ke depan lalu mencair dan menemukan ikatan tertentu untuk sementara waktu, kadang stabil kadang mengambang dan menguap tanpa bekas. Suatu proses yang mengelak dari prospek tunggal.

Sebagai manusia “tradisional”, seniman Indonesia dapat merengkuh berbagai dimensi paling nyata dari modernitas, tapi pada saat yang sama tak dapat menyangkal bahwa dirinya tersusun dari darah dan daging tradisi yang juga tak lagi tampil secara utuh. Silang sengkarut itu adalah “berkah kultural” sekaligus inspirasi tiada habis yang tak dimiliki oleh seniman “Barat”. Sebagian besar seniman (Bandung) beruntung karena dapat bersikap rileks dalam menangani keterbelahan dalam garis silang-tegangan semacam itu. Dan seniman (Jogja) lebih beruntung lagi karena sebagian besar memiliki ladang “agraris”, plus berkah pasar yang mendatangkan duit berlimpah.

Harus diakui, saat ini seniman Jogja sangat dominan dalam peta seni rupa Indonesia. Mereka mengusung tema yang beragam, dari ihwal wayang, mistik, politik, budaya massa, hingga perayaan fleksibilitas spasio-temporal yang fantastik bersamaan dengan kian terbukanya media cyber dunia digital dan kemajuan teknologi audio-visual yang menakjubkan itu. Mereka hidup di “kampung” besar yang cenderung komunal.

Akar kehidupan komunal-tradisional itulah modal besar mereka. Gaya sampakan Teater Gandrik dengan kecerdasan yang menakjubkan ketika mencemooh keangkuhan kekuasaan dansegala ihwal yang dimutlakkan hanya dapat muncul dari kelenturan bahasa dalam kehidupan sehari-hari para anggotanya yang komunal itu. Mereka memiliki “kecerdasan linguistik” (gaya Jogja) yang tak dimiliki seniman di tempat lain. Kecerdasan serupa juga dimiliki sebagian besar perupa Jogja. Mereka dapat melihat berbagai hal dalam dimensi-dimensinya yang unik dan mengejutkan. Tapi akhir-akhir ini tampak kecerdasan itu mulai tumpul, ide-ide liar mereka mulai mbleret. Sebagian bahkan cenderung jadi anak manis, jinak, dan tertib.

Ada dua kemungkinan: mereka mulai tergulung oleh silang sengkarut “berkah kultural” tersebut, atau tak mampu mengembangkan “kecerdasan lokal”-nya. Silang sengkarut “berkah kultural” dalam tata yang terus mengelak dari kerangka paradigmatik yang mereka miliki-karena kerangka itu akan terus bergeser dan tak terangkum-berkerumuk jadi daya-daya impersonal yang dapat merontokkan keunikan daya-daya personal asali. Pada saat yang sama mereka dipaksa terus berkarya guna terlibat dalam berbagai pameran dan persaingan keras antarseniman hingga tak tersedia cukup ruang untuk melakukan refleksi kritis atas kekuatan impersonal yang siap menggilas tersebut.

Situasinya jadi lebih runyam ketika mereka kurang mengembangkan “local knowledge” yang jadi modal besarnya. Seniman yang tumbuh dalam dunia “agraris” Jawa (dan akrab dengan dunia wayang, mistik, dan roh-roh misalnya) tak perlu jauh-jauh mencari konsep ini-itu sampai ke negeri Joseph Beuys atau Anselm Kiefer. Mereka sudah memiliki tema- tema “agraris” sebagai “pengalaman kultural” yang tak tergantikan oleh apa pun. Tiap seniman memang perlu mengenal berbagai pemikiran berat dan lagi ngetren, tapi yang lebih penting adalah mempelajari segala ihwal yang berkaitan dengan “lumbung kultural” terdekatnya. Tapi rupanya tak banyak yang sungguh-sungguh mendalami dan mengembangkan “local knowledge” semacam itu sehingga “lumbung kultural” itu—wayang misalnya—hanya diambil bentuk-bentuk fisik visualnya belaka. Ia dicomot bagian-bagian luarnya untuk dicangkokkan dengan unsur-unsur visual dari tempat lain. Khazanah tradisional itu tak dikembangkan sebagai “paradigma” estetik tapi sebatas ornamen.

Tak banyak perupa yang membuat proyek seperti Teater Garasi ketika menggarap karya Waktu Batu (selama tiga tahun lebih), dengan riset panjang perihal konsep waktu di Jawa (Tengah) masa silam dari berbagai literatur dan penelitian di areal Candi Baka, dekat Prambanan. Tak terdengar kabar para perupa keliling dunia (atas kemauan sendiri dan bukan karena undangan), keluar-masuk museum terkemuka guna memperluas pengetahuan, atau bergentayangan di pedalaman Kalimantan, Sumatera, dan Papua untuk menyaksikan langsung hutan yang lumat itu atau berbagai wilayah negeri ini yang dirajam luka sejarah. Padahal sebagian perupa punya uang untuk melakukan hal itu.

Benar kata Yuswantoro Adi (Kompas, 18 Januari 2009) bahwa mbentoyong (ambisius) dalam berkesenian itu perlu, tapi secara tak langsung ia juga menunjukkan bahwa sebagian besar perupa (Jogja) memahami ke-agraris-an sebatas eksotisme belaka. Mungkin mereka sudah puas dengan bakat alam (yang luar biasa itu) dan ninabobo pasar yang sanggup menelan apa saja. (Mestinya pasar semacam itu sangat bermanfaat karena segila dan se-edan apa pun karya akan tetap ditelan).

Tapi rupanya tak banyak perupa yang berani benar-benar ngedan lalu berkata: “Lihatlah, aku bebas. Kuumbar ide-ide liarku jadi karya segila-gilanya. Karena gue sudah punya duit, maka suka-suka gue, dong. Elo mau apa?”

Ya, keberanian, pengetahuan, dan integritas itu memang mahal. DH Lawrence pernah berkata: “Bahkan dibutuhkan modal untuk membangun moral”. Dan modal itu sudah di tangan. Tapi sayang mereka kurang menyadari kekuatan besar itu. Sementara di sisi lain, sikap rileks sebagian besar perupa Bandung telah membuat mereka kehilangan “ambisi” alias kurang mbentoyong sehingga “berkah kultural” itu ditangani secara main-main pula. Risikonya sama: sikap terhadap seni sebagai ornamen, bukan “paradigma”.

Dua jenis sikap itu sama-sama potensial jadi blokade yang diam-diam menghipnotis hingga mereka secara sukarela (bahkan kadang sukacita) tersekap, tergiling, dan takluk oleh berbagai silang sengkarut daya-daya impersonal yang mengepung dari segala jurusan. Tentu, kemungkinan tersebut dapat terjadi pada perupa Indonesia di mana pun.

Wicaksono Adi
Kritikus seni



Comments are closed.