Kelompok Seni Rupa Jendela (8 Mei-18 Juni 2000)
Majalah TEMPO, edisi Senin, 08 Mei 2000, Kolom Seni Rupa
ANTITESIS SENI RUPA KONTEMPORER
SIKAP subversif terhadap konvensi seni rupa biasanya muncul ketika sebuah kecenderungan (gaya) tak lagi mampu menampung gejolak ekspresi perupa. Dalam seni rupa kontemporer, yang dikenal dengan jargonnya yaitu ‘‘art without boundaries“, kecenderungan melahirkan perupa yang bersikap subversif lebih besar lagi. Namun, tingginya semangat pembebasan dari konvensi usang seni rupa dalam perjalanannya tetap melahirkan kecenderungan yang sejatinya adalah sebuah konvensi tersendiri, yakni yang acap disebut corak representasional.
Seni rupa kontemporer terjebak dalam ”seni berkomunikasi” sebagai terompet yang kontekstual. Tapi, belakangan mulai muncul antitesis terhadap corak representasional di kalangan sementara perupa muda yang karyanya tak memiliki relasi dengan konteks sosial. Sebuah contoh yang paling progresif muncul dalam pameran ”Kelompok Seni Rupa Jendela”, sebuah kelompok perupa asal Sumatra Barat. Dengan berbagai cara, mereka membongkar konvensi seni rupa untuk mewujudkan jargon ”seni tanpa wilayah perbatasan”.
Lihatlah karya Rudi Mantovani dan Yusra Martunus. Konvensi medium trimatra (seni patung) yang mereka peroleh dari bangku akademi (ISI Yogyakarta) nyaris tak tersisa. Rudi menghadirkan selembar plastik bening empat persegi yang digantung, sedangkan di bagian tengahnya ditempelkan kantung plastik kecil berisi tanah. Karya ini diberi judul Nurani. Atau, karyanya yang bertajuk Menjaring Keyakinan, berupa lembaran plastik terhampar dari dinding ke lantai yang kemudian disambung dengan lembaran seng yang digulung. Begitu pula halnya dengan karya Yusra Martunus yang bertajuk Meletakkan. Ia menjalin tali plastik biru sehingga menciptakan abstraksi bentuk kantong yang digantungkan di dinding dan teronggok di pojok lantai, atau lilitan kawat berduri yang mencitrakan bentuk kepompong. Kedua karya ini menggunakan materi yang tidak lazim dalam seni patung. Proses kebentukan berlangsung seketika dengan sifat dasar material yang ada. Berbeda dengan proses penciptaan patung konvensional yang berjarak, karya mereka cenderung membebaskan material dari fungsi dan representasi, dan mengembalikannya pada sifat asal dan potensi estetis tiap-tiap material itu: plastik sebagai plastik, kawat sebagai kawat, tidak lebih.
Sifat subversif yang sama ditunjukkan oleh Handiwirman, seorang perupa muda yang dikenal dengan karyanya yang berupa obyek. Perupa jebolan Pendidikan Seni Kriya Kayu ISI Yogyakarta ini menggunakan berbagai material, dari yang remeh-temeh (kapas, kain, benang, ijuk, rambut) hingga obyek yang dibentuk dari bahan resin (fiberglass). Handiwirman memasukkan unsur kinetik (citra gerak) dengan memanfaatkan teknologi elektronik sederhana. Karyanya yang berjudul Sekumpulan Separo berupa tujuh buah bentuk torso yang di bagian atas diberi dinamo untuk memutar obyek-obyek dalam skala kecil dari bahan kain. Atau, karyanya yang berjudul Potong, Korek, Cuci, Sumpal berupa sebuah bentuk bak mandi dari bahan resin yang permukaannya disumpal dengan berbagai bentuk obyek, dan di bagian ujungnya tergantung abstraksi bentuk tangan dari kayu kasar yang disambungkan dengan bentuk telinga di atasnya. Sebuah dinamo memutar-mutar gulungan kapas di dalam sebuah lubang pada obyek berbentuk telinga tadi.
Karya mereka merupakan pencarian berbagai kemungkinan eksplorasi terhadap medium dan bentuk dengan menghilangkan relasinya dengan konteks (representasional), baik karya dua dimensional (Alfi, M. Irfan, Yunizar) maupun karya dengan medium trimatra. Bahkan, Yusra Martunus seolah membandingkan keluasan jelajah medium trimatra dengan medium dua dimensional lewat karya lukis, dengan tetap berbasis gagasan estetis yang sama. Sebaliknya, M. Irfan, yang biasa menggunakan medium dua dimensi, juga mengolah bentuk dari materi benang di atas kain. Kecenderungan menghilangkan sifat representasional mulai muncul di sejumlah perupa yang tampaknya mulai jenuh dengan keriuhan tema sosial-politik. Titik perhatian kembali mulai bergeser ke elemen rupa, tapi dengan pendekatan estetika yang tidak biasa. Akankah kecenderungan ini menjadi formalisme dalam format baru?
Raihul Fadjri
Pameran “Membuka Kemungkinan”
Karya : Kelompok Seni Rupa Jendela (Alfi, Handiwirman, M.Irfan, Rudi Mantofani, Yunizar, Yusra Martunus)
Tempat : Taman Budaya Yogyakarta
Waktu : 21 – 30 April 2000
*******
Harian KOMPAS, edisi Minggu, 11-06-2000. Halaman: 18
SENI RUPA YANG “MENGUTANG” DAN “BERMUATAN”
SEJAK Perang Dunia I yang kemudian melahirkan seni rupa nihilis Dada, dan setelah Perang Dunia II yang lantas menyadarkan seniman bahwa dunia bukan lagi firdaus, presentasi seni rupa di Bumi diimbuh chaos dan carut marut. Tentu masih banyak seni yang lahir dengan kaidah estetik visual sebagai manifestasi rasa syukur seniman atas alam yang memberikan talenta dan sebagai tanda bahwa buah karya seniman memang berbeda dari yang bukan seniman. Namun di sisi itu semakin banyak seni rupa yang mengacu hanya kepada itikad berpesan moral, dengan menyingkirkan hakikat seni sebagai wujud presentasi keindahan. Prinsip berkesenian, atas nama kemajuan dan respon peradaban, ditinggalkan.
Karena itu kritikus Inggris Sir Herbert Read (1893-1968) mengatakan, “Seni rupa akhirnya adalah penyingkapan kesadaran secara tidak senonoh… Karena itu, dalam seni rupa kontemporer keindahan bukan lagi tujuan.”
Mungkin ada yang mengira yang dikatakan Read merupakan pengabsahan, bukan sindiran yang lahir dari kekecewaan. Akibatnya seni rupa “tak senonoh” pun dengan penuh percaya diri berlahiran dan jalan terus. Di Indonesia hal yang sama juga terjadi.
Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan sejumlah perupa muda yang mengklaim dirinya sebagai “kontemporer” pada pancawarsa terakhir. Pada tengah sampai akhir Mei lalu misalnya, di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, dipamerkan karya Kelompok Seni Rupa Jendela (KSRJ) yang beranggotakan Alfi, Handiwirman, M Irfan, Yunizar, Rudi Mantofani dan Yusra Martunus yang berusia 20-an tahun. Sehitungan seniman kelahiran Sumatera Barat yang studi di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Mereka termasuk perupa progresif. Memiliki elan vital, wawasan dan keberanian menempuh lorong yang mungkin kontroversial. Semangat bermain (atau bermain-main) yang tampak dalam karya mereka bisa jadi sedikit memberikan shock kepada penikmat, terutama yang belum pernah jumpa dengan karya semacam. Tak heran bila karya KSRJ pun dianggap aneh, baru, segar, dan karena itu menyenangkan.
Namun, khalayak yang memahami seni rupa tak terbatas pada semangat, menyebut karya KSRJ sebagai manifestasi yang “tak senonoh” tadi. Sebagian menyebut menggampangkan, bahkan “malas”. Lukisan Handiwirman yang cuma coret-coret mirip kerjaan balita di atas kertas. Atau instalasi elektriknya, yang sesungguhnya lucu, namun belum tergarap serius. Tengok pula lukisan Yunizar dan Alfi yang hanya memainkan efek cat, bahkan tanpa pretensi artistik, yang sesungguhnya amat dekat, dengan manifestasi pelukis Jean-Michel Basquiat (1960-1988), seniman Amerika biang grafiti yang mati muda.
Atau seni rupa Yusra Martunus yang hanya berbentuk simpul dan ukelan tali biru yang diposisikan di beberapa bagian ruang. Ketika ditaruh di pojokan, ia juduli Meletakkan. Ketika digantung di paku, ia juluki Menggantungkan. Tak terkecuali sejumlah karya M. Irfan yang menjahit perca dan larik benang putih di atas lembaran kain berwarna suram. Atau karya Rudi Mantofani yang menancap buah kelapa dengan sebilah kaca. Dan sebagainya yang setara.
Seni rupa “ngutang”
Ini jajaran karya yang sengaja menghilangkan jatidiri, kata pematung senior Amrus Natalsya. Mereka ternyata hanya meminjam bahasa seni rupa seniman bangsa lain-dan itu pun memilih cara-cara yang paling mudah-untuk mengekspresikan pikiran keseniannya sendiri. Pekerjaan perupa muda itu selaras dengan “anjuran” perupa Heri Dono yang menyerukan bahwa wujud seni rupa hanyalah bahasa ucap yang sah untuk pinjam bahasa milik orang lain. Akibatnya, seperti yang pernah ditulis pengamat seni rupa Eddie Soetriyono ketika membahas karya seni Agus Suwage, seni rupa “kontemporer” Indonesia banyak utang kepada seni bangsa lain. Dan seperti biasanya, sering lupa membayar kembali. Padahal kontemporerisme didengung-dengungkan menyimpan paham postmodernisme, yang menghormati tegaknya warna budaya lokal (yang dulu termarjinalisasi dalam Modernisme) di setiap cipta seni rupa yang dihasilkan.
Publik umum dengan sambil lalu melontar pertanyaan, inikah karya seni rupa? Seandainya benar seni rupa, benarkah semua itu seni rupa bermutu dan layak? Apakah karya tersebut tidak bisa ditangkap hanya sebagai simbol reaksi kegundahan para perupa muda dalam menghadapi zaman yang kompleks, yang menawarkan frustrasi tak henti-henti? Adakah ini perlawanan dari isu komersialisasi karya seni yang melahirkan seni rupa “kosong”, dengan karya yang tak kalah dekaden? Dan apakah ini bukan nihilis baru ala Dada yang lahir dari pikiran reformatif, yang memberikan kesempatan untuk merdeka, lepas, menyeleweng atau bahkan gila?
Maka, karya-karya KSRJ pun sekadar menjadi benda yang berpretensi menyentuh atau mengganggu. Kenyelenehan karya embrional yang disuguhkan –yang celakanya sering dipuji oleh sejumlah kritikus ketika karya-karya ini dipamerkan di beberapa galeri– hanyalah merupakan persimpangan muhibah mereka di jalan yang masih amat panjang.
KSRJ, dan cipta semacam yang sedang banyak dikerjakan di Tanah Air, memang menawarkan wacana baru. Namun sebuah kenyataan, ada banyak wacana, sejauh apa pun ia ditelusuri dan diburu, kurang mendatangkan manfaat. Oleh karena ia hanya menawarkan kegaduhan belaka. Dan lantaran esensi dari presentasi wacana itu memang menyalahi hakikat: seni rupa tanpa keindahan, anti art, adakah ia tetap berada dalam hakikat kesenian? Ini pikiran mendasar yang dengan argumentasi apa pun tidak bisa memilahkan pemaham kesenian pada istilah baru atau kuno, out of date atau up to date, kolot, modern, atau “kontemporer”.
Itu pula sebabnya seni rupa instalasi di Indonesia sampai sekarang masih belum diterima terbuka oleh khalayak. Masalahnya bukan terletak pada “kebaruan” seni instalasi itu bagi Indonesia, sehingga perlu sosialisasi terus-menerus. Tetapi karena kualitas artistik seni instalasi di sini sebagian besar (di luar sejumlah karya Nyoman Erawan, Krisna Murti, FX Harsono, Mukhsin MD) memang tidak atau belum menarik. Bahkan separuhnya mengesankan adanya simplifikasi pekerjaan seni, dan melecehkan para pemandangnya dari faktor referensial.
Alhasil sutradara Garin Nugroho menyebut seni rupa instalasi Indonesia adalah “seni instan”. Penyair Sutardji Calzoum Bachri acap meledek dengan sebutan “rupa-rupa seni rupa buruk rupa”.
Dari sini lalu wajar jika banyak orang menganggap bahwa karya-karya instalasi Arahmaiani, yang sering unik, cerdik dan menggegerkan itu, acapkali baru sebatas draft. Belum sebagai seni yang pantas dipertunjukkan. Ini hanya satu amsal di antara berderet-deret contoh karya perupa lain.
Seni rupa Indonesia kontemporer perlu segera introspeksi, atau bahkan perlu redefinisi. Benarkah kontemporerisme musti menyandarkan diri pada muatan kontekstual dengan presentasi yang harus “lain” dengan mencangking aneka keganjilan.
Di rubrik Bentara penulis Ahmad Sahal mengupas tentang Cultural Studies dalam dunia sastra pada artikelnya “Cultural Studies” dan Tersingkirnya Estetika (Kompas, 2 Juni 2000). Dijelaskan bahwa cultural studies (kajian-kajian budaya) yang kini banyak dilakukan pakar di dunia, cenderung terpeleset hanya memperhatikan muatan, isi dan tujuan penulisan, daripada teks sastra yang melahirkan estetika. Hal ini apabila diteruskan, akan menyetir sastrawan pada tren penilaian, dan akan memiskinkan penghayatan publik terhadap keindahan sastra. Hal yang sama telah terjadi dalam dunia seni rupa Indonesia.
Tidak terbayangkan jika seni rupa cuma dihargai dan dikaji(apalagi dengan sikap pseudo ilmiah) dari aspek hiruk-pikuknya, kegilaannya, kontekstualitasnya, dan dokumentasi sosialnya belaka. Jika pemahaman seperti itu terus berlanjut, rasanya pencopet dan perusuh pun bakal mampu ber-“seni rupa”. Dan publik yang telah telanjur tumpul sensibilitasnya akan mengangguk-anguk lantaran mengaguminya.
Agus Dermawan T
(Pengamat seni rupa, pendukung Seni Rupa Baru)
Foto:
KARYA MUDA
Karya seni rupa berbentuk patung, instalasi atau artwork karya perupa muda Yusra Martunus dan berjudul Ketidakpastian, ada yang mempertanyakan di mana estetika karya tersebut.
Yusra Martunus, Ketidakpastian II (1998). Tali dan kayu, 200 x 60 x 80 cm. Foto milik Yusra Martunus.
*******
Harian KOMPAS, edisi Minggu, 18-06-2000. Halaman: 18
ARISAN NAMA-NAMA: MISTERI APA DAN SIAPA
TULISAN di Kompas Minggu, 11 Juni 2000 oleh Agus Dermawan T. memperlihatkan selera penulisnya yang cukup jelas tentang apa yang disebutnya sebagai “seni rupa kontemporer”. Tulisan itu hemat saya adalah kumpulan dari serangkaian celaan atau cemooh yang sudah sering dilakukan sebelumnya, melalui sejumlah tulisannya tentang
seni rupa, dalam satu dua tahun terakhir ini. Dalam beberapa tulisan itu, kendati sang penulis tidak sedang menulis tentang pokok semacam itu, namun “caci-maki”-nya atau perasaan tidak suka yang ditunjukkannya terhadap praktik “seni rupa kontemporer” selalu dapat kita simak, seandainya kita mau menyimaknya. Sayang, pada saat ini saya tidak dapat dengan cepat menunjukkan tulisan-tulisan itu, karena saya tidak mengumpulkan tulisan-tulisan semacam itu, yang selalu saya anggap tidak menyumbang apa-apa terhadap diskusi maupun wacana yang berkembang dalam seni rupa kita, selain suatu pernyataan selera pribadi terhadap suatu pokok, yang bahkan hemat saya, siapa pun dapat melakukannya, kapan dan di mana saja untuk pokok apa saja. Tetapi tentu saja, bilamana perlu, tulisan-tulisan itu dapat dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan. Pernyataan yang didasarkan oleh selera biasanya dibuat tanpa argumen kecuali berdasarkan apa yang menggumpal dan mencair dengan cepat dalam suatu saat, kadang-kadang hanya didasarkan macam-macam kepentingan atau minat (yang kita tidak tahu) atau kebiasaan di masa lalu maupun di masa kini yang telanjur membentuk seseorang. Dapatkah kita berdebat tentang selera?
Tulisan Seni Rupa yang “Mengutang” dan “Bermuatan”, hemat saya, tidak lebih jelas ketimbang banyak tulisannya yang lain, hanya lebih panjang, dan tampaknya penulis memang hanya ingin menjulurkan saja lidahnya untuk mencibir. Sekali lagi, dapatkah cibiran semacam itu, tanpa argumen apa pun kita tanggapi? Di sini, saya hanya ingin menunjukkan, bagaimana selera tanpa argumen itu telah digunakan sedemikian rupa untuk “menilai” praktik “seni rupa kontemporer”, yakni inti dari tulisan itu dan dengan cara apa lidahnya diulurkan lebih panjang untuk mencibir apa-apa yang tidak berkenan dengan seleranya.
Arisan nama-nama
Pertama, tulisan itu sama sekali tidak membahas soal karya para perupa. Kita tidak tahu, apakah sedang dibicarakan karya (tes) atau penciptanya? Judul-judul karya para perupa disebutkan berikut penciptanya, tetapi kita tidak memperoleh gambaran lebih dari secuil pun tentang argumen atau pembahasannya tentang karya yang disebutkannya. Seakan sudah dengan sendirinya penilaian atau pemerian (deskripsi) akan muncul hanya dengan menyebutkan judul, si penulis hanya menulis, sebuah contoh: “Ketika ditaruh di pojokan, ia juduli Meletakkan, ketika digantung di paku, ia juluki Menggantungkan (I)”
Dengan demikian, saya tidak tahu, apakah foto karya yang dimuat sebagai ilustrasi tulisan itu sudah dianggap cukup untuk menggantikan pemerian, dan bagi pembaca seakan langsung diserukan, “inilah sebuah contoh karya yang menurut selera saya buruk?” Ataukah sedang ditawarkan kepada para pembaca untuk “menilai” karya itu, setelah “menjajah”-nya melalui tulisan?
Seperti layaknya kita tengah diajak untuk nonton sebuah demo memasak maka pertanyaan terpentingnya adalah: Tidakkah gaya dan cara pendemo itu sudah mengatakan seluruhnya tentang kelezatan masakannya, lebih penting dari resepnya?
Nama-nama sejumlah perupa dalam tulisan itu dideretkan, dipilahkan menurut selera sang penulis, antara “nama yang disukai” dan “yang tidak disukai”? Dengan tidak menunjukkan karya dan mencoba membahasnya, tidakkah kepada kelompok nama-nama yang berada dalam karung, si penulis menyatakan bahwa seleranya telah dipuaskan oleh “seluruh” karya mereka? Tidaklah cara ini sangat sewenang-wenang dan totaliter-suatu sikap totaliter seperti yang kita saksikan dalam sebuah arisan? Kocoklah dan bersiaplah untuk membaca sejumlah nama yang lolos dari sana. Berbeda selera dan cara mengocok, akan berbeda nama yang keluar…
Jelas, sikap ini sangat berbahaya dan tidak bertanggung jawab, dan tentu sangat tidak etis. Bagaimana kita dapat mendebat suatu hasil kocokan dalam sebuah arisan? Sekali lagi, kita berpulang kepada tidak adanya atau nol argumen dibalik penyebutan sejumlah karya dan nama. Kita juga dapat menyebut hal ini sebagai metoda totaliter dalam kekacauan pikiran yang dibungkus dalam bentuk sebuah esai bergaya kritis: Satu tindakan penipuan mentah-mentah terhadap publik pembaca (potensial maupun aktual) yang dilakukan oleh seorang penulis yang sudah bekerja sekian puluh tahun dalam bidangnya dan tidak ingin menunjukkan tanda-tanda bahwa ia bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya.
Penafsir dan publik
Kedua, posisi penulis seringkali bergeser seenak pusarnya. Kadang-kadang digunakan kata atau subyek penulis secara jelas, (dalam tataran selera), kadang-kadang digunakan juga persepsi atau perspektif publik (digunakan istilah “banyak orang”, “khalayak” dan “publik umum”) dan dalam tulisan itu, seakan penulis dapat berpindah tempat selekas itu, untuk berdiri di belakang atau di depan “publik”, seakan selera penulis adalah representasi selera publik, dan seakan, memang ada wewenang absolut yang dapat digunakan oleh penulis sehingga dengan seenak pusarnya dapat diatasnamakan “selera” publik. Ketika publik dilibatkan dalam persoalan selera ini, kita juga dapat bertanya: publik yang mana? Berapa banyak? Di mana, kapan dan kira-kira dalam kepentingan apa?
Demikianlah kekalutan terjadi karena sering kita mendapati kaca mata penulis seakan baru saja dicomot dari kaca mata “publik”, seakan dengan enak dapat dipinjam maupun dibuang untuk kepentingan penglihatan penulis. Sungguh-sungguhkah dalam hal ini (wacana dan kepentingan) penulis mewakili (wacana maupun kepentingan) publik, seakan-akan kita tengah membaca sebuah imbauan dan keluhan di sebuah rubrik “surat pembaca” tentang suatu tindakan “kejahatan seni rupa kontemporer” (lengkap dengan dukungan fakta dan peristiwa), dan bukan sebuah esai “otonom” bermuatan opini seorang penulis?
Bukankah dengan cara ini, kita kehilangan jejak penulis atau penafsiran teks-berhadapan dengan karya-yang simsalabim berubah menjadi anonim? Dengan cara ini pula memang tanggungjawab dapat dihindarkan dan otonomi penulis seakan ditegakkan antara proses “pukul dan lari”: berdiri sebagai seorang pembela, atau “jembatan” antara publik dan karya seni, di mana anonimitas sang publik bilamana perlu dapat digunakan untuk menghakimi sebuah karya, tidak beda dengan teriakan “bakar, bakar, bakar!” dalam proses penangkapan dan penghakiman seorang maling, tanpa dapat ditengarai siapa yang meneriakinya. Pertanyaannya: untuk kepentingan publik atau penulis? Dan seakan-akan penulis-dengan berdasar selera-menjadi satu-satunya “produsen makna” dan berdiri paling depan dalam proses tafsir terhadap karya seni. Dengan alasan yang lebih praktis, saya hanya ingin menunjukkan sebuah contoh: di kalangan publik tertentu—yang seakan-akan selalu secara hirarkis pengetahuan dan apresiasi mereka selama ini dikatakan berada di bawah “sang ahli”—saya dapat mengatakan bahwa mereka membaca hal-hal baru (dalam seni rupa) dengan lebih bersemangat dan rasa ingin tahu yang besar, kadang-kadang menunjukkan kejelian dan kepekaan yang melebihi rata-rata para “penulis seni rupa”. “Publik” semacam ini (kendati masih kecil jumlahnya, tapi saya percaya akan menjadi lingkaran yang membesar) berupaya mencari buku-buku terbaru tentang seni rupa kontemporer, katalog-katalog pameran terbaru dan mendatangi serta melihat karya-karya terbaru para perupanya dan membicarakannya dalam lingkaran-lingkaran mereka. Di luar dugaan, mereka nyaris tidak membaca ulasan-ulasan tentang seni rupa di media massa, apalagi menjadikannya sebagai panutan. (Apa sebabnya, perlu diteliti, tapi jelas merupakan suatu “pekerjaan rumah” sendiri untuk dipikirkan bagi para penulis seni rupa).
Sejumlah akurasi yang sebenarnya bersifat elementer yang layaknya dimiliki oleh penulis sebaiknya juga harus ditunjukkan. Beberapa istilah yang sangat konotatif dan kabur yang digunakan oleh penulis, misalnya “draft”, “instan”, “nyeleneh”, “menyeleweng”, “tak senonoh”, “kolot”, dan “kuno”, “malas” sebaiknya juga dijelaskan dalam kaitan pembahasan karya-karya seni rupa itu.
Apakah “selera” di belakang pernyataan-pernyataan itu dapat ditunggangi seenaknya oleh si penulis, tanpa menjelaskan konteks pernyataan itu dibuat dan relevansinya dengan pemaknaan yang harus dibuat oleh pembaca teks sendiri dalam menafsirkan atau pun menilai atau memahami sebuah karya?
Akhirnya kita dapat kembali kepada judul, yang rupa-rupanya sebagian juga dikutip dari pernyataan seseorang. Judul “berutang” dan “bermuatan” merupakan kata-kata yang dengan cepat dapat menghindarkan kesan bahwa tulisan itu sepenuhnya dikerjakan tanpa argumentasi. Judul itu hemat saya tidak dapat digunakan sebagai landasan dalam penilaian yang bersifat gampangan. Kata “berutang” dicomot dari tafsir seorang penulis lain tentang hanya karya seorang perupa, dari sebuah perspektif tertentu. Dapatkah kata ini digunakan untuk menggeneralisasikan karya-karya seni rupa kontemporer yang lain? Apakah tema tulisan ini memang “pencomotan” ataukah “pencurian”? Dari siapa kepada siapa, dan dengan cara bagaimana?
Barangkali penjelasan akan hal-hal ini merupakan harapan yang terlalu besar, kecuali kalau penulisya mau melepaskan gaya keterikatannya yang mati-matian terhadap selera pribadi dan melengkapinya dengan argumen, beritikad memberikan kontribusinya dalam perkembangan sebuah wacana, lebih dari sekadar mengutip pernyataan ini atau itu, mendukung gerakan ini dan itu, seperti tertulis dalam bagian paling akhir sebagai siasat untuk menjelaskan (hanya) sebuah nama.
Hendro Wiyanto
Kritikus seni rupa
Foto
Istimewa KONTEMPORER
Instalasi karya Andar Manik, Jaga Anak Baik-baik. Dipamerkan pada “Seni Kontemporer dari Negara-negara Nonblok” di Jakarta, 1995. Bagaimanakah mendebat hasil kecocokan sebuah arisan?
[…] dan yang mana yang bukan dari tulisan para kurator dalam media massa? Sebagai contoh, coba tilik polemik tentang Kelompok Seni Rupa Jendela ini. Dalam pandangan saya, yang terjadi […]
[…] tapi kalau mau melihat situs daring kami sebagai catatan pinggir dari obrolan-obrolan ini, ada juga kumpulan polemik yang membicarakan KSR Jendela ketika mereka baru […]
[…] dan yang mana yang bukan dari tulisan para kurator dalam media massa? Sebagai contoh, coba tilik polemik tentang Kelompok Seni Rupa Jendela ini. Dalam pandangan saya, yang terjadi […]