Di belakang kanvas
Presentasi khusus karya-karya Kustiyah (l. Probolinggo, 1935; m. Yogyakarta, 2012) oleh Hyphen—
“Kustiyah, siswa ASRI, melukis alam pantai Tegal.” Demikian kalimat yang menyertai sebuah potret dalam majalah SIASAT, edisi 484, September 1956. Potret ini, kiriman warga Kalibuntu, Tegal, menggambarkan seorang perempuan muda, dengan rambut panjang yang dikepang dua, sedang melukis di tepi pantai. Tampak juga lautan, dan perahu kecil yang sedang berlabuh tak jauh darinya. Dalam bidang kanvasnya, Kustiyah sedang melukis beberapa perahu yang sedang berlabuh.
Ketika potret itu terbit, Kustiyah telah menempuh pendidikan jurusan Seni Lukis selama tiga tahun. Ia dikenal giat mengikuti agenda berbagai sanggar di sekitar kampusnya di Yogyakarta itu. Di sana, kegiatan melukis di tempat waktranya berada adalah salah satu metode pembelajaran, yang juga merupakan semangat praktik seni kebanyakan seniman pada zaman itu. Beberapa kelompok seniman yang terhubung dengan ASRI—antara lain Sanggar Pelukis Rakyat, Sanggarbambu, dan Gabungan Pelukis Indonesia—kerap melakukan kegiatan melukis bersama di alam terbuka. Para seniman era Revolusi percaya betul bahwa dengan perilaku ini karya-karya mereka dekat dengan masyarakat. Ketimbang mengada-ada atau membuat jadi ada, karya-karya mereka justru apa adanya.
Selain melukis, Kustiyah kerap menjadi waktra dalam lukisan potret karya kawan-kawannya—antara lain Gregorius Sidharta, Sutopo, Sudarso, Sunarto P.R., Edhi Sunarso, dan Trubus. Mengingat nama-nama yang mengisi sebuah periode dalam sejarah seni rupa Indonesia ini, minimnya pencatatan tentang aktivitas seni Kustiyah sebagai sejawat mereka layak dipertanyakan. Dalam penelusuran tiga peneliti Kustiyah (yang percakapannya divideokan bersama Ary “Jimged” Sendy, M. Revaldi, dan Prima Rusdi, 2021), timbul pertanyaan: Saat melukis potret dirinya, di mana Kustiyah berdiri? Saat menjadi model untuk lukisan kawan-kawannya, di mana Kustiyah berdiri? “Di belakang kanvas” adalah jawaban yang mewadahi dinamika kemungkinan posisi Kustiyah. Ada setidaknya dua arti: Pertama, Kustiyah yang berdiri di belakang kanvas sembari memegang kuas dan melukis. Dan, kedua, Kustiyah yang hadir di belakang kanvas sembari berpose.
Di belakang kanvas juga menjadi judul presentasi khusus di ARTJOG 2023 Motif: Lamaran. Dua cukil kayu, tiga gambar, dan sembilan lukisan Kustiyah di sana dipinjam dari Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso. Sepanjang hayatnya, ia terus berkarya, aktif dalam pelbagai organisasi perhelatan seni, senang merangkai bunga, dan piawai merancang baju mulai dari motif sampai modelnya. Pada 2006, ia berpameran untuk terakhir kalinya dan enam tahun kemudian meninggal dunia. Pada 2015, keluarganya memajang banyak karyanya di Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, di Jombor, Yogyakarta. Sejauh ini, Hyphen— telah mencatat 110 karya Kustiyah, kebanyakan lukisan. Dengan kata lain, seumur hidup Kustiyah, ia bertekun di belakang kanvas.
Hyphen— (terdiri dari Akmalia Rizqita “Chita”, Grace Samboh, Pitra Hutomo, Rachel K. Surijata, dan Ratna Mufida) menelusuri kekaryaan Kustiyah dengan motif senarai rasa penasaran. Bagaimana mungkin, dengan intensitas kekaryaan itu, tak pernah secercah pun kami membaca mengenai Kustiyah? Dari mana kita mengenal praktik kawan-kawannya yang melukiskan Kustiyah? Mengapa sumber-sumber ini tak membicarakan sang model yang juga pelukis? Apakah ini kesengajaan atau kelalaian penulisan sejarah? Bagaimana kita bisa membaca praktik Kustiyah hari ini? Di mana kita bisa memosisikan kelindan peran dan praktiknya? Dan seterusnya.
Dalam salah satu album foto keluarga yang tersimpan di Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, ada sebuah potret Kustiyah di ruang keluarga rumahnya. Laiknya seorang model yang berpose untuk dilukis, Bu Kus duduk anggun di atas kursi rotan. Ia mengenakan kebaya, bersampir selendang, bersanggul, dan kakinya bertangkup seolah ingin menonjolkan balutan batiknya yang paripurna. Di dinding belakangnya, tampak tiga buah lukisannya sendiri: Wayang (1969), Kamboja merah (1969), dan Barong (1968).
Waktra (subject matter) lukisan yang terakhir adalah topeng barong dari Bali dimana ia dikenakan oleh para penari dalam ritual-ritual keagamaan Hindu. Barong adalah niskala (salinan rupa) binatang gaib dan sakral. Bagi para pelancong, topeng barong adalah salah satu buah tangan Bali yang bisa jadi hiasan di rumah-rumah mereka, sekaligus penanda bahwa mereka pernah singgah di Bali. Pelukis Kartika (l. Jakarta, 1934) pernah menceritakan pesiarnya ke Bali bersama Bu Kus, pada 1968. Dari perjalanan ini Bu Kus juga membawa pulang sepotong Bali untuk mewarnai praktik melukisnya. Mulai dari topeng barong, kegemarannya pada bunga kamboja, laporan pandangan matanya seputar upacara adat dan arsitektur, sampai dengan eloknya bentangalam (landscape) pantai, perahu-perahu.
Sekarang, di hadapan kita,lukisan Barong dari potret itu bersanding dengan lukisan Kaligrafi (1980) yang menuliskan kata “Allah” dalam aksara Arab. Waktra kedua lukisan ini mengandung motif bentuk rupa temurun. Yang pertama diambil dari ragam hias kebudayaan Hindu Bali, dan, yang kedua, berasal dari kaligrafi Arab. Motif-motif temurun yang digunakan dalam kedua waktra ini, topeng barong dan kaligrafi, jamak kita jumpai pada aneka ragam bentuk hiasan rumah, gedung-gedung serta arsitektur tempat ibadah seperti masjid, pura, candi, dlsb.
Tak terbebani pakem-pakem bentuk rupa temurun yang melekat pada kedua waktra ini, Bu Kus mengolah motif-motif temurun ini dengan warna-warni sapuan kuas dan goresan blabar hitamnya. Motif ukir nusantara yang jadi rujukan Bu Kus masih tampak, walau tak diulangnya dalam pola-pola yang umum kita temukan. Ia seolah menolak memperlakukan motif-motif ini semata sebagai ornamentalia. Pada lukisan Kaligrafi, stilasi dan susunan aksara Bu Kus tidak geometris. Tak berapa berbeda dengan lukisan alambendanya (still life), Bu Kus menghadirkan bentuk dan motif dengan warna-warna untuk harmonisasi semua elemen dalam kanvasnya.
Apa yang membuat Bu Kus tertarik melukis topeng barong dan tulisan kaligrafi? Tampaknya hal ini tidak lepas dari interaksi Bu Kus sehari-hari dengan lingkungan di mana waktra itu berada. Dalam masa studi Bu Kus di ASRI, kurikulum menuntut siswa-siswi kampus ini melukis di luar ruang, dalam ruang hidup bermasyarakat. Tak heran jika waktra mereka, umumnya, adalah hiruk pikuk pasar, jalan-jalan perkampungan, serta kesibukan panen padi di sawah. Mereka dituntun untuk menangkap dan merekam bentuk-bentuk rupa yang menggugah kepekaan jiwa. Kemudian mereka menggambarnya di atas lembaran kertas, atau melukisnya pada bidang kanvas, langsung di hadapan waktranya.
Dalam salah satu biografi singkatnya, Bu Kus menyatakan bahwa ia belajar bagaimana menghayati alam semesta dari pelukis Trubus (l. Yogyakarta, 1926; m. 1966). Di balik selembar foto yang diambil pada April 1954, Bu Kus mencatat, “Kesegaran dalam lukisan adalah kesegaran dalam jiwa.” Kembali pada kedua lukisan ini, di mana, kira-kira, Bu Kus menjumpai topeng barong dan tulisan kaligrafi? Dalam ruang yang samakah mereka? Suasana macam apa yang ditangkap Bu Kus dari belakang kanvas saat ia melukis kedua waktra ini? Bagaimana cara Bu Kus mengakrabi kedua waktra ini dan lingkungannya?
-Ratna Mufida
Dari sekian banyak lukisan Kustiyah dalam koleksi Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso, bunga adalah salah satu waktra (subject matter) yang berulang. Ragam bunga yang dilukis oleh Bu Kus yang pernah kami lihat—baik secara langsung maupun dari foto—adalah mawar, krisan, lili, dan kamboja. Pada lukisan Kamboja merah (1979), Anda dapat melihat potongan batang pohon kamboja dengan bunga berwarna merah dan putih di dalam sebuah jambangan yang berbentuk seperti guci. Dari warna merahnya, kemungkinan, variasi bunga kamboja yang dilukis Bu Kus dalam lukisan ini adalah Polynesian red atau Red ruby.
Jika kita perhatikan lebih dekat, setidaknya ada empat jenis merah yang digunakan Bu Kus untuk kelopak bunga dalam lukisan ini—merah darah yang gelap, merah merona, merah muda, sampai kemudian menjadi putih. Anda masih bisa melihat jejak kemerahan di balik sapuan cat kelopak bunga berwarna putih. Umumnya, dalam satu pohon kamboja, warna bunganya hanya satu ragam, kecuali jika pohonnya dibiakkan dengan metode stek. Mungkinkah bunga merah dan putih ini, berasal dari pohon yang berbeda? Tangkai bunganya melunglai, sebagian daunnya rontok bersama beberapa kelopak bunga. Latar belakang lukisan ini antah berantah, berwarna dasar krem, ditumpuk dengan sapuan kuas cat berwarna hijau, dengan arah sapuan yang menyelimuti si bunga dan jambangannya.
Batangnya yang tebal tampak sesak di mulut jambangan yang kecil. Dari empat batang yang bercabang-cabang itu, satu batangnya yang paling pendek bahkan tidak memiliki bunga sama sekali. Bunga kamboja memang umum dipetik bunganya untuk menghias ruangan, tapi biasanya tidak bersama batangnya. Batangnya bulat dan berkayu keras, ia juga mempunyai getah yang dapat menimbulkan rasa gatal jika terkena kulit. Sejak masa pendidikannya di ASRI, Bu Kus terbiasa melukis langsung di depan objeknya, baik itu alambenda (still life) atau bentangalam (landscape). Apakah kita bisa membayangkan seorang Bu Kus memotong batang kamboja yang tebal itu, dari halaman rumahnya? Untuk kemudian ditata ke dalam jambangan ini? Apakah ia menata komposisi ini di dalam kepalanya?
Bunga kamboja tampaknya memang istimewa bagi Bu Kus. Sebatang pohon kamboja tumbuh subur di halaman rumah keluarga Bu Kus di Jalan Kaliurang. Pohon ini kerap muncul dalam foto-foto keluarga Bu Kus. Di pulau Jawa, pohon kamboja banyak kita temui di area pemakaman—maka ia sering dianggap mistis—sekaligus penghias halaman rumah. Sedangkan di Bali, bunga kamboja adalah bagian dari keseharian masyarakat, mulai sebagai ornamen untuk sembahyang, tarian, dan berbagai upacara. Konon, kamboja melambangkan kesetiaan dan dedikasi—mengingatkan kita akan pribadi Bu Kus semasa hidupnya, dedikasinya kepada keluarga, dan kesetiaannya pada praktik melukis.
Sebuah lukisan Bu Kus dengan tajuk yang sama, Kamboja merah—tidak kami pamerkan dalam kesempatan ini—menampilkan segerombol bunga kamboja berwarna merah pekat yang masih bertengger pada batangnya. Dibuat pada 1969, lukisan itu menghadirkan pohon kamboja di alam terbuka, bermandikan pancaran terik mentari yang kuning kecoklatan. Sapuan cat pada lukisan ini tebal dan bertumpuk. Lukisan Kamboja merah yang bisa Anda lihat di sini dibuat Bu Kus satu dekade kemudian. Pada dekade 70an, sapuan kuas dan penggunaan cat Bu Kus cenderung menipis sehingga kecenderungan rona lukisan-lukisannya seolah menjadi lebih terang, padahal ia tetap memancarkan kesuraman. Kamboja ini terbelenggu, berusaha hidup di dalam ruangnya yang terbatas. Karena bunga kamboja, hanya dapat bertahan beberapa hari di dalam wadah berisi air…
-Akmalia Rizqita “Chita”
Ingat potret Kustiyah dari majalah Siasat, September 1956, yang kami bicarakan pada pengantar masuk ke ruang pamer ini? Potret itu diambil dari sisi kiri Kustiyah, dimana bentang lautan di hadapannya cenderung kosong. Hanya ada sebuah perahu kecil yang tampak berlabuh di sana. Seperti kebiasaan kita hari ini, menjepret satu kejadian dari beberapa sudut pandang. Ada sebuah potret yang berasal dari kisaran waktu yang sama dalam salah satu dari ratusan album foto kenangan yang bisa kita lihat di Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso. Nah, potret ini diambil dari sisi kanannya. Dari jepretan sisi kanan ini, kita bisa lihat setidaknya tiga perahu dengan beberapa nelayan sedang melabuhkan kapal atau menurunkan hasil tangkapan. Apakah Lobster (1975), Ikan surung (1985), dan Ikan (1993) pada panel ini adalah hasil tangkapan laut para nelayan itu? Bisa saja!
Dalam koleksi Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso dan sepanjang penelitian kami sejauh ini, ada setidaknya enam karya Bu Kus yang menggunakan kata “perahu” pada judulnya. Ada dua buah lukisan yang, walaupun judulnya menggunakan kata “pantai”, juga menggambarkan perahu. Perahu juga muncul dalam banyak karya perupa generasi pasca-kemerdekaan ini, mulai dari Oesman Effendi, Rusli, Affandi, Zaini, sampai dengan Sriyani Hudyonoto. Karena nyaris selalu hadir di pantai atau di laut, lukisan-lukisan perahu ini cenderung dikategorikan, diperbincangkan, dan dipamerkan sebagai lukisan bentangalam (landscape). Pada kesempatan ini, bagaimana kalau kita melihat lukisan perahu Bu Kus sebagai lukisan alambenda (still life)?
Sejatinya, lukisan alambenda berisi komposisi benda tak-bergerak yang ditata sedemikian rupa dan diberi pencahayaan khusus. Daya tarik lukisan alambenda berpusat pada pencapaian teknik sang pelukis (mulai dari kemampuan menggambar bentuk, menghadirkan cahaya—serta bayangan—, sampai dengan komposisi) dan bagaimana benda tak-bergerak yang umum kita temukan dalam kehidupan sehari-hari ini menjadi hal yang sama sekali lain dari nilai kesehariannya.
Pada 1968, Bu Kus pesiar ke Bali bersama kawannya, pelukis Kartika (l. Jakarta, 1934). Konon, perjalanan ini khusus untuk mencari waktra (subject matter), waktu, dan kesempatan melukis bersama. Lukisan Perahu-perahu dari Sanur (1968) ini adalah salah satu hasilnya. Kehadiran sang perahu di tengah pusaran ombak yang demikian, tanpa penampakan pantai sama sekali, tidak mungkin disaksikan langsung dari jarak sedekat lukisan itu. Bilapun mungkin, dari atas batu karang besar, misalnya, sang perahu tidak mungkin selamat dari pusaran ombak sebesar itu.
Jika kita memandang lukisan ini sebagai lukisan alambenda, dengan waktra perahu, maka pusaran ombak dan terik mentari yang hadir dalam lukisan ini adalah lingkungan yang telah ditata Bu Kus untuk menghadirkan objeknya, sang perahu. Mudah rasanya memandang daun pisang pada Ikan dan Ikan surung atau wadah berwarna terang pada Lobster sebagai benda-benda yang diadakan dan ditata untuk bisa dilukis oleh Bu Kus. Pada Lobster, Ikan surung, dan Ikan Bu Kus menonjolkan bentuk-bentuk artistik yang alamiah pada objeknya, mulai dari sungut, lekuk dan jarak antara cangkang, bentuk ekor, dan motif pada kulit ikan. Apa yang artistik dan sedemikian memukau dari perahu? Pada Perahu-perahu di Sanur, bisakah kita membayangkan pusaran ombak dan terik mentari sebagai elemen-elemen yang diadakan dan ditata Bu Kus untuk memunculkan sang perahu?
-Grace Samboh
Tajuk presentasi ini, ‘Di belakang kanvas’, memancing rasa penasaran: Apa yang Kustiyah lihat dari belakang kanvasnya? Di hadapan kita saat ini adalah dua lukisan bentangalam (landscape) yang berasal dari periode yang sama, namun dua perjalanan yang berbeda: Gerobag (1969) dan lukisan Sanggah (1968). Yang pertama, menangkap pemandangan kota kecil di Jawa dengan waktra (subject matter) sebuah gerobak lembu yang sedang dalam posisi berhenti atau parkir. Di dekat gerobak yang memenuhi kanvas itu, ada seekor lembu yang moncongnya diikat tali ke pohon. Tak seberapa jauh darinya, ada seorang laki-laki yang mengenakan atasan bermotif lurik. Sulit rasanya menolak asumsi bahwa ia adalah sang kusir gerobak. Sang kusir duduk sembari mengangkat kaki kanannya dalam sebuah gubuk yang separuh terbuka. Sementara sang lembu melipat kakinya sembari memandangi gemericik air dan sibakan makhluk berbulu hitam dan putih. Keduanya sedang beristirahat.
Hampir seluruh bagian atas dan bawah kanvas dilapisi sapuan biru. Yang atas, mudah kita kenali sebagai langit, sementara yang bawah sungai. Latar lukisan ini adalah sebuah rumah gedhek dengan seorang figur yang membawa gembolan di depannya. Sementara bagian kanan dan kiri kanvas dipenuhi pepohonan rindang yang mendukung suasana istirahat bagi sang lembu dan sang kusir. Kial (gesture) sang figur yang membawa gembolan itu juga membuat kita menganggap bahwa ia akan segera pergi, meninggalkan sang lembu dan sang kusir untuk beristirahat.
Sekarang, mari kita berpindah ke sebelahnya, sebuah lukisan berjudul Sanggah (1968). Kata benda “sanggah” berarti tempat suci atau tempat pemujaan Hindu di dalam rumah yang digunakan khusus oleh suatu keluarga. Ada empat buah bangunan sanggah yang dapat kita kenali di lukisan ini. Bagi kami yang tidak akrab dengan budaya Bali dan agama Hindu, mereka tampak seperti pura-pura kecil berwarna coklat dengan aksen merah. Semak-semak dan pepohonan yang terdapat di kanan-kiri kanvas, pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi, seolah membingkai bangunan sanggah tersebut. Janur-janur kuning juga hadir pada sisi kanan kanvas.
Waktra kedua lukisan bentangalam ini berbeda dari khasanah Bu Kus pada umumnya, alam digambarkan dari sudut pandang yang jauh—laiknya menangkap pemandangan itu dari atas bukit atau di kaki gunung. Sementara, kedua lukisan bentangalam di hadapan kita ini, ditangkap dari sudut pandang yang sejajar dengan waktra yang digambarkannya. Pantai Parangtritis atau Gunung Merapi sama-sama berjarak kurang dari 30 kilometer dari rumah Bu Kus. Jika Sanggah ditemui Bu Kus dalam perjalanannya ke Bali bersama pelukis Kartika (l. Jakarta, 1934), Gerobag kemungkinan ditemukan di daerah yang lebih padat penduduk daripada gumuk pasir tempatnya berdiri di Parangtritis atau dari sanatoriumnya di Pakem yang menghadap ke puncak Merapi.
Laiknya kebiasaan kita hari ini–mengambil foto dan kemudian mengunggahnya di media sosial, Bu Kus ‘membawa pulang’ kedua bentangalam ini dari perjalanannya, membekukannya ke dalam lukisan. Kira-kira apa ya, yang mendorong Bu Kus untuk menampilkan ambilan kilat (snapshot) dari perjalanannya dalam bentuk lukisan bentangalam seperti ini? Jadi, cerita apa yang muncul dalam benak Anda saat melihat kedua lukisan ini?
-Rachel K. Surijata
Kelima karya kertas Kustiyah yang dipamerkan di dalam kotak kaca ini berasal dari satu periode, yaitu masa studi Kustiyah di ASRI (1953-1956). Menggambar adalah salah satu mata pelajaran praktik utama dalam kurikulum awal seni rupa ASRI. Setidaknya seminggu sekali, para siswa diajak menggambar di luar ruangan. Teknik cukil kayu masuk ke dalam mata pelajaran praktik seni reklame, dekorasi, ilustrasi, dan grafis. Hingga sekarang, kami belum pernah melihat karya gambar dan grafis Bu Kus yang dibuat di luar rentang waktu ini.
Griya Seni Hj. Kustiyah Edhi Sunarso mengarsipkan banyak gambar dalam map bertuliskan nama Bu Kus. Di dalamnya, ada gambar atau karya grafis buatan seniman lain. Bu Kus memang aktif menjadi panitia kegiatan kampus dan pernah mengajar di SSRI Yogyakarta (Sekolah Seni Rupa Indonesia, sekarang SMSR/Sekolah Menengah Seni Rupa), sehingga tidak aneh baginya untuk menyimpan karya teman-temannya atau murid-muridnya. Ada juga gambar-gambar Bu Kus yang bersifat studi pendahuluan (voorstudie), rancangan untuk karya lain—dalam kasus Bu Kus, lukisan—, atau sketsa. Beberapa diantaranya, dapat kami identifikasi sebagai sketsa dari lukisan bentangalam, pasar, dan kaligrafi. Pada suatu sketsa, ia bahkan menggambar suatu pemandangan dalam sebuah bentuk persegi panjang berongga yang, selain menunjukkan batas bidang kanvas, juga menghadirkan bingkai lukisannya.
Karya-karya kertas Bu Kus yang kami pilih ini mewakili waktra khas mahasiswa ASRI masa itu—yang diturunkan dari guru-gurunya—yaitu menangkap keseharian masyarakat sekitar, yang digambar di tempat dimana hal yang digambarkan itu berlangsung. Melalui lima karya di atas kertas ini, kita dapat melihat bagaimana Bu Kus memilih untuk menggambarkan perempuan-perempuan pekerja; seorang perempuan berkebaya dan jarik sedang mengarit padi, seorang perempuan lain bercaping dan menjajakan dagangannya di emperan sebuah rumah, dan seorang lagi sedang berjongkok, entah untuk menumbuk padi, menyalakan tungku, atau mencuci baju. Satu hal yang membuat kami penasaran, selain potret diri, semua figur perempuan dalam karya-karya ini, digambarkan dari samping atau dari belakang, sehingga wajah sang figur tidak pernah tampak. Dalam beberapa lukisan bentangalam Bu Kus, manusia digambarkan dari sudut pandang yang jauh, sehingga bentuknya dilukiskan dengan sangat sederhana, hampir seperti orang-orangan sawah. Manusia dalam lukisan bentangalam Bu Kus juga hadir sebatas bagian dari alam, derajatnya sama dengan pohon, bangunan, semak-semak, matahari, atau jalanan.
Karya potret Bu Kus yang sudah kami temui sejauh ini, hampir semuanya adalah potret diri, contohnya satu gambar dan satu cukil kayu yang dipamerkan pada kesempatan ini. Jika Anda sempat menonton video yang juga dipasang dalam ruang pamer ini, kami membicarakan bagaimana kami belum pernah melihat Bu Kus melukis ataupun menggambar orang lain, tidak seperti kawan-kawan senimannya yang kerap menjadikan Bu Kus sebagai waktra lukisan mereka. Beberapa pengecualiannya adalah potret anak, cucu, suami, dan seorang figur perempuan yang kami duga sebagai ibu atau kakak perempuan Bu Kus. Walaupun begitu, bukankah mereka adalah darah daging Bu Kus—bagian dari dirinya—maka dapat dilihat sebagai semacam potret diri juga?
-Akmalia Rizqita “Chita” dan Grace Samboh