Biografi Kustiyah et al

Kustiyah (l. Probolinggo, 1935 – m. Yogyakarta, 2012) dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi lembut, kontras dengan seni lukisnya. Karya-karyanya dominan dengan garis tajam dan sapuan warna yang kasar. Melalui pendekatan artistik yang khas, pelukis yang terutama aktif sepanjang 1950-an ini melukiskan lingkungan hidup di sekitarnya, mengubah pemandangan alam yang familiar dan bersahaja menjadi ungkapan rupa yang bergejolak dan penuh energi. Perjalanan Kustiyah sebagai pelukis bermula dari ASRI, Sanggar Pelukis Rakyat, serta Pelukis Indonesia.

Siti Ruliyati (l. Jombang, 1930 – m. Tangerang Selatan, 2023); adalah seorang seniman yang menekuni beragam media dwimatra; mulai dari gambar pensil, cat air, hingga cat minyak. Sapuannya kuat, tegang, kaku, dan keras, tapi komposisinya begitu lembut dan feminin. Alumnus ASRI angkatan pertama ini menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat dalam seluruh kekaryaannya. Gambar-gambarnya diakrabi publik melalui sejumlah majalah, seperti Budaya Jaya, Indonesia, dan Zenith. Ruliyati hidup dari praktik artistiknya, yaitu melukis, menggambar, mengajar di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), berjualan kartu pos serta kartu ucapan, dan membuka kursus melukis.

Sriyani (l. Yogyakarta, 1930 – m. Jakarta, 2006) sudah gemar menggambar dan melukis sejak kecil melalui dukungan nenek dan ibunya, sampai kemudian ia menempuh pendidikan seni rupa di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, Bandung. Ia gemar memperluas wawasan kebudayaannya, salah satunya dengan belajar perfilman di Perfini. Ia juga berkesempatan mengunjungi, melukis, dan berpameran di berbagai negara, mulai dari Thailand hingga Rusia. Waktra lukisannya berkisar dari pemandangan, alam benda, figur perempuan, hingga hewan-hewan. Salah satu praktik kekaryaannya yang dikenang adalah lukisan hitam-putih dan cetak monotipe berwarna tunggal.

Kartika (l. Jakarta, 1934) giat melukis sejak kecil, kemudian memperluas cakrawala dengan menimba ilmu di Santiniketan, belajar mematung di Sekolah Tinggi Politeknik London, dan mendalami Konservasi dan Restorasi Benda-Benda Kesenian di Wina dan Roma. Akrab disapa Mami Kartika, melukis baginya adalah rutinitas yang menyenangkan untuk dilakukan di luar ruangan—alam terbuka, persis di depan atau di sekitar waktra yang ia lukis. Sapuan kuas pada lukisan-lukisannya mencerminkan pribadinya yang ceria, tangguh, dan penuh semangat.

Rustamadji (l. Klaten, 1921 – m. Klaten, 2001) akrab dengan gambar wayang sejak kecil dan senang menyalin foto. Ia belajar menggambar sendiri sebelum pindah ke Yogyakarta dan menjadi anggota Pelukis Rakyat (1948–1955). Setelah memasuki tahap spiritual dalam hidupnya, ia terus belajar sendiri dan mencatatkan pelajarannya dalam jurnal stensilan sebanyak lebih dari 40 edisi. Pada 1966–1972, ia berserah penuh pada kekuatan di luar dirinya untuk menggerakkan tangannya menggambar dan melukis. Selama itu juga ia tak pernah menandatangani karyanya, sebab, baginya, ia hanyalah alat, bukan pencipta.

Trubus Soedarsono (l. Yogyakarta, 1926 – menghilang pada 1966) sejak kecil menyenangi seni dan kriya tumurun, yang kemudian menghantarkannya pada keterampilan melukis dan mematung. Lukisan-lukisannya banyak memakai latar berwarna gelap, sehingga menyorot waktra apa pun yang ia lukis dengan syahdu. Ia mengajar di ASRI Yogyakarta dan mendirikan sebuah sanggar yang menampung pelukis dan pematung muda di Yogyakarta pada 1958. Patung-patung Trubus menghiasi halaman Istana Bogor dan lukisan-lukisannya tersimpan dalam Koleksi Istana Negara hingga hari ini.

Zaini (l. Pariaman, 1924 – m. Jakarta, 1977) melukis waktra yang sama berulang kali, di antaranya perahu, ayam, dan kambing. Kata halus, lembut, dan sederhana kerap dipakai oleh teman-temannya untuk mengenang karya lukisnya. Sebelum melanglang buana ke Jakarta, Zaini mendapat pendidikan seni rupa dasar di Indonesich Nederlansche School (INS) Kayutanam, Sumatera Barat. Selain setia pada kekaryaannya, Zaini juga setia kawan dan seorang pengelola kebudayaan yang giat. Ia turut mendirikan beberapa organisasi, menyelenggarakan pameran, menggagas dan merancang penerbitan buku dan majalah, membuat ilustrasi cerita pendek, dan mengajar.

G. Sidharta Soegijo (l. Yogyakarta, 1932 – m. Surakarta, 2006) adalah seniman serba bisa dan dikenal sebagai salah satu pembaharu seni patung di Indonesia. Ia pernah mendalami seni lukis di Sanggar Pelukis Rakyat serta ikut mendirikan perkumpulan Pelukis Indonesia Muda. Sekembalinya dari studi di Jan Van Eyck Academie, Belanda, Sidharta mengajar di ITB. Karya-karyanya turut menjadi bagian dari khazanah budaya populer, dari patung di makam Bung Karno di Blitar hingga Piala Citra untuk para pemenang Festival Film Indonesia.

Sudarso (l. Purwokerto, 1914 – m. Purwakarta, 2006) belajar melukis secara otodidak sejak sebelum era Revolusi. Ia adalah salah satu pendiri dan pengurus Sanggar Pelukis Rakyat, dan sempat mengajar di ASRI Yogyakarta pada tahun-tahun awal pendiriannya. Ia dikenang melalui lukisan-lukisan potret perempuan bersanggul yang mengenakan kebaya, jarik, dan selendang, yang anggota tubuhnya—terutama tangan dan kaki—dilukiskan secara detail, dengan bentang alam sebagai latarnya.

Sutopo (l. Yogyakarta, 1931) menempuh pendidikan di ASRI pada 1950 dan tergabung dalam Pelukis Rakyat pada 1953. Lukisannya banyak mengangkat waktra sosok perempuan berpakaian tradisional Jawa dalam suasana kegiatan sehari-hari: mengasuh anak di rumah ataupun berbelanja di pasar. Selain melukis, ia menangani berbagai proyek seni rupa publik, termasuk di antaranya Monumen Satu Maret di Yogyakarta, Monumen Palagan Ambarawa, dan patung perunggu Brawijaya untuk Kodam Brawijaya Surabaya.

Edhi Sunarso (l. Salatiga, 1932 – m. Yogyakarta, 2016) abadi melalui mahakaryanya yang kini menjadi bagian khas dari lanskap Jakarta: Monumen Selamat Datang (1962) di Bundaran Hotel Indonesia, Monumen Pembebasan Irian Barat (1963) di Lapangan Banteng, dan Monumen Dirgantara (1966) di Pancoran. Ketiganya dipesan Presiden Sukarno setelah Edhi mendalami seni patung di Kala Bhavana, Visva-Bharati University, Santiniketan, pada 1957. Di luar kiprahnya membuat monumen dan diorama untuk museum, alumnus ASRI dan mantan pegiat Pelukis Rakyat ini juga aktif sebagai pengajar.



Comments are closed.