Atmosfer kehidupan seni di Yogyakarta dan gemuruh pasar (15 Desember 2001-6 Januari 2002)

Harian KOMPAS, edisi Sabtu, 15 Desember 2001. Halaman: 23

SENI RUPA YOGYAKARTA: GEMURUH PASAR YANG TIDAK MENCERDASKAN

KERAMAIAN wacana seni rupa kontemporer di Yogyakarta menurun drastis. Ironisnya, belakangan ini jadwal pameran seni rupa di kota ini penuh sesak. Galeri-galeri baru bermunculan seperti Galeri Oktober atau Jogja Fine Art Community (JFAC), yang pameran pembukanya semakin menegaskan bahwa seni lukis adalah produk artistik yang paling banyak (layak) di produksi-konsumsi.

GAMPANGLAH kita mencurigai bahwa galeri menjadi semata perpanjangan ruang dalam mekanisme pasar. Galeri belum merepresentasikan kegelisahan, misalnya, melakukan reaksi atas dominasi pasar seni lukis. Ini ditandai oleh penyelenggaraan pameran yang minim kuratorial, atau penulisan yang nanti bisa mengonstruksi wacana seni rupa. Galeri-galeri di kota ini umumnya merupakan bekas rumah tinggal, diimbuh sistem pencahayaan ala kadarnya, sehingga mengurangi kenikmatan untuk berapresiasi. Bisa jadi memang, galeri dibangun semata ruang transaksi untuk penjualan karya seni lukis.

Tentu, sebagai pengecualian, pameran Yasumasa Morimura atau Heri Dono di Rumah Seni Cemeti, lalu Mahbubur Rahman asal Banglades dan Midori Hirota di Galeri Kedai Kebun, patut dijadikan model seniman yang orientasinya tidak lagi bermain dalam kancah pasar lokal. Setidaknya, ide di sana masih berharga untuk dibaca. Heri Dono lewat karya-karyanya, apa boleh buat, masih signifikan dalam membaca makna perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia.

Kita lalu bisa menemukan juga pergeseran nama-nama perupa di Yogyakarta yang selama ini mewakili wilayah perkembangan tersebut. Kini, tidak lagi Heri Dono, Eddie Harra, Hanura Hosea, Mella Jarsma, Agung Kurniawan, Nindityo Adipurnomo, Anusapati, S Teddy D, Ugo Untoro, atau Agus Suwage sebagai “seniman yang lahir akibat wacana”. Gantinya adalah Katirin, Nurkholis, Made Palguna, Made Sukadana, Nyoman Sukari, Erica, merupakan seniman yang karier awalnya banyak ditunjang mekanisme pasar.

Mereka yang tidak setuju dengan dikotomi antara “seniman wacana” dan “seniman pasar” boleh saja beralasan, dikotomi atau pembagian wilayah kesenimanan di situ tidak berdasar sama sekali. Bahwa konon, seolah ada seniman “sejati” yang tidak mau memperjualbelikan karyanya begitu saja, sisi lain ada seniman yang terang-terangan tunduk dijerat uang para pembeli.

Kita boleh pesimistis, lama-lama model dikotomi di atas tidak membuahkan arti apa-apa kecuali kecemburuan ekonomi dan pembenaran eksistensi antarseniman. Bisa jadi, hal demikian juga akibat minimnya apresiasi seniman terhadap penulisan/kritik seni di katalog, bacaan terhadap buku-buku sosial-filsafat-bahasa atau lemahnya sistem kuratorial. Di Yogyakarta, kurator seni rupa bisa dihitung dengan jari.

Lagi pula, Galeri Nadi di daerah Kedoya, Jakarta, yang tegas- tegas berusaha membedakan antara “pameran komersial” dengan “pameran wacana” (baca: seniman yang berpameran ditangani oleh seorang kurator), toh hakikatnya sama saja. Seperti sengaja “bermain” di antara dikotomi yang entah diciptakan oleh siapa.

Pasar sanggup bikin orang tercengang. Harga lukisan mencapai ratusan juta rupiah tanpa kriteria yang jelas, atau memiliki semacam dimensi “nilai” yang terkandung di dalam karya. Kasus harga ini bisa kita saksikan dalam pameran di Galeri Embun pada akhir November lalu. Harga lukisan ada yang mencapai Rp 1 milyar, entah siapa yang bakal beli. Kalaupun ada, adakah dia tahu nilai lukisan tersebut. Bahkan, mengeruk nilai atau pemaknaan lewat tulisan pun kini tampak semakin mengada-ada, berlebihan, nyaris tidak mampu menjelaskan persoalan di balik proses penciptaan karya.

Seniman di Yogyakarta kini terang-terangan menunjukkan lemahnya posisi tawar mereka sebagai seniman. Beberapa kalangan menduga, kondisi demikian sengaja dibiarkan oleh orang-orang tertentu. Karena selain menguntungkan pihak seniman-galeri-pembeli, kondisi saat ini memang sulit dibenahi. Upaya-upaya yang lebih konstruktif seperti membenahi infrastruktur, mempertanyakan kebijakan atau komitmen pemerintah pusat-daerah malah jadi “proposal-proposal” pihak tertentu yang ujung-ujungnya mengeruk keuntungan pribadi.

Pasar lukisan di Yogyakarta mengingatkan kita pada fenomena pasar seni rupa di Amerika Serikat sekitar tahun 1980-an lewat boom karya- karya pendatang baru Julian Schnabel, David Salle, Francesco Clemente, Eric Fischl, Keith Haring, Robert Longo, Mark Kostabi, atau Kenny Scharf. Art dealer semacam Larry Gadosian, menggenggam erat Jean-Michel Basquiat dan mengeruk keuntungan dari pelukis berdarah Haiti dan Puerto Riko itu. Gadosian berhasil memantapkan pasar karya- karya Basquiat. Kita bisa ingat upaya Leo Castelli, Charles Saacthi, atau pasangan Eugene dan Barbara Scwartz yang banyak berbelanja karya seni. Tentu, perlahan mekanisme pasar terbentuk, galeri-galeri baru bermunculan. Jelas, fenomena di Amerika punya implikasi yang berbeda dengan di Indonesia.

Berikut sebuah cerita yang mengingatkan kita pada kegelisahan Adi Wicaksono. Ini berupa peristiwa nyata, yakni lemahnya posisi tawar seniman, terjadi dalam sebuah pameran Not Just Political pada 10-17 November 2001 di Museum Widayat, Mungkid, Magelang.

Pameran ini merangsang seniman untuk tidak sekadar mengobarkan isu sosial politik dalam produksi keseniannya, tetapi bisa menyeruak masuk ke hal-hal yang lebih pribadi, eksplorasi media, teknik, dan sebagainya. Dalam pengantar katalog Oei Hong Djien menyinyalir, isu politik yang sejak masa reformasi menjadi pola sentral para seniman Indonesia, mulai membosankan. Di katalog yang sama, M Dwi Marianto menuliskan perkara jenuhnya isu sosial-politik sebagai tema.

Argumentasi Oei Hong Djien atau Dwi Marianto meskipun berlawanan dengan representasi karya, seolah-olah menggariskan, perkembangan seni rupa kontemporer tidak lagi melulu didominasi wacana sosial- politik. Padahal, konteks sosial-politik di sini pun bisa menjadi diskursus berkepanjangan.

Pameran itu menggelar pula aksi melukis seniman yang berpameran. Panitia menyiapkan potongan kanvas, cat minyak, atau akrilik. Melalui mikrofon, Oe Hong Djien dan Widayat memanggil-manggil nama seniman untuk tampil dan menunjukkan kebolehannya melukis. Maka pelukis Entang Wiharso, Yuswantoro Adi, Alfi, Nurkholis, Made Sukadana, Made Palguna, Nasirun, dan beberapa nama lain, langsung duduk di depan kanvas dan mulai menyabetkan kuas. Setelah lukisan selesai, panitia berharap Widayat memberi semacam penilaian, misalnya: apik! bagus! nilainya 8! Adapun Oe Hong Djien di mikrofon seenaknya menanyakan harga jual.

Primadona siang itu Nasirun, atau mungkin Made Sukadana, yang tempat duduknya tampak ditunggui beberapa orang (kolektor atau kolekdol?). Satu per satu seniman beringsut ke depan untuk dinilai dan dikomentari Hong Djien atau Widayat. Kita bisa menduga, setelah itu transaksi harga tidak mustahil dilakukan.

Peristiwa di Museum Widayat mungkin saja memporak-porandakan imaji kita selama ini terhadap sosok seorang seniman. Kita kira seniman sosok suci, intelektual, inspiratif terhadap zaman, otonom. Padahal, peristiwa-peristiwa pameran di Yogyakarta selama dua bulan belakangan cukup mengindikasikan, wacana seni rupa nyaris mengarah pada praktik jual beli belaka. Di sisi lain seniman tampaknya enggan belajar untuk terus membuat perubahan artistik, tema, atau konsepsi keseniannya. Ramalan Sanento Yuliman tidak keliru: kondisi seperti itu semakin menyulitkan kita untuk mencari perspektif yang obyektif. Bahwa kita butuh sistem pemaknaan dan penilaian yang baru, canggih, sekaligus mengandung dimensi sejarah, dan konteks sosial.

Saat tema, media, teknik melukis, berjalan di tempat, datar, kering ide, dan jadi “standar-standar” pasar, banyak yang mengira semaraknya pasar di Yogyakarta bisa membutakan kita untuk mengoreksi ulang, siapa seniman yang pantas dijadikan bahan diskursus? Apakah seniman yang laris tapi minim tema-konsep atau sebaliknya? Atau kedua-duanya? Kalau selang lima tahun ke depan ada yang “iseng” menyusun “sejarah seni rupa Indonesia”, seniman macam apa yang “layak” masuk sejarah?

Patutlah dunia seni rupa Indonesia pesimistis. Berbarengan dengan itu, pendidikan seni rupa sebagai ruang referensi, acuan perkembangan teori atau estetika, perlahan redup. Adakah ini sinyal, pendidikan seni terbenam dalam gemuruh pasar seni lukis? Bahwa “kekuatan pasar” makin menampakkan superioritasnya? Sebuah superioritas yang juga inferior dalam membaca perubahan budaya secara global. Gemuruh pasar ‘lokal’ yang tidak mencerdaskan siapa-siapa. =====================================================================

Kita lalu bisa menemukan juga pergeseran nama-nama perupa di Yogyakarta yang selama ini mewakili wilayah perkembangan tersebut. Kini, tidak lagi Heri Dono, Eddie Harra, Hanura Hosea, Mella Jarsma, Agung Kurniawan, Nindityo Adipurnomo, Anusapati, S Teddy D, Ugo Untoro, atau Agus Suwage sebagai” seniman yang lahir akibat wacana”. Gantinya adalah Katirin, Nurkholis, Made Palguna, Made Sukadana, Nyoman Sukari, Erica, merupakan seniman yang karier awalnya banyak ditunjang mekanisme pasar. =====================================================================

Aminudin TH Siregar
Dosen Seni Rupa ITB

FOTO
“Menunggu Buka” (2000) Karya Erica Foto dokumentasi Nadi Gallery “Singa Membara” (1992) Karya Heri Dono Foto dokumentasi Nadi Gallery

 

*******

Harian KOMPAS, edisi Minggu, 23 Desember 2001. Halaman: 14

ATMOSFER KEHIDUPAN SENI DI YOGYAKARTA
(Tanggapan atas Tulisan Aminudin TH Siregar  Seni Rupa Yogyakarta Gemuruh Pasar yang Tidak Mencerdaskan)

TULISAN kritik seni dapat dibuat secara bebas dengan skop mikro maupun makro, bisa dengan pendekatan positivis, interpretif, atau kritikal. Pokok-pokok pikiran dapat dinyatakan secara langsung atau tidak langsung, dengan bahasa populer yang imaginatif atau melalui format pemaparan yang ketat, runtut dengan kaidah akademik. Yang terpenting pokok-pokok pikiran itu harus didukung dengan argumen- argumen berdasar, berpijak pada data dan fakta, lalu disampaikan secara koheren. Sebab, menulis kritik seni bukanlah semata pekerjaan meneropong dengan mikroskop guna mengamplifikasi ‘kuman’, ‘kotoran’, atau apa-apa yang dipandang berada di luar batas idealisme dan ideologi ilmu dan etika si penulis.

Sesungguhnya jauh lebih mudah memproduksi tulisan yang provokatif, apalagi dengan pendekatan negatif yang cuma menuding- nuding pola budaya, paradigma dan karya orang lain tanpa dilandasi dengan pembacaan yang cukup dan ditopang cross checking yang memadai. Dengan ini yang dihasilkan nantinya tidak cuma tidak produktif, tetapi juga menuai destruksi, spekulasi dan prasangka buruk, pun akhirnya (pinjam kata-kata Aminudin TH  Siregar sendiri) tidak mencerdaskan banyak pihak sama sekali. Tulisan seni yang baik dan produktif adalah tulisan yang mampu melihat dan merepresentasi arti penting dari nuansa dan lapisan-lapisan pemaknaan dari karya seni yang bersangkutan, dan yang direpresentasi secara kreatif melalui bahasa yang imajinatif.

Berikut ini adalah tanggapan atas tulisan Aminudin Siregar Seni Rupa Yogyakarta Gemuruh Pasar yang tidak Mencerdaskan, (Kompas, 15 Desember 2001), yang kesimpulannya tentang dunia seni rupa Yogyakarta terlalu luas dan berlebihan, tendensius, bahkan dilakukan secara terburu-buru, padahal ia belum membaca secara cukup keadaan dan atmosfer berkesenian yang sesungguhnya hidup di Yogyakarta, bahkan sampai pada taraf minimal saja pun tidak. Ironisnya, pada saat yang sama Siregar mengekspresikan keterkesimaannya kepada aktivitas Cemeti Art House dan Galeri Kedai Kebun. Padahal, kalau ia mewawancarai banyak praktisi seni di Yogyakarta, banyak dari mereka yang punya pandangan kritikal dan punya resistensi yang kuat terhadap kedua lembaga itu. Terutama terhadap Cemeti yang kini begitu hegemonik. Tampaknya ini disebabkan karena dalam membaca fenomenanya ia terlalua priori dan ideologis.

Sebagai ilustrasi untuk sejumlah poin-poin dari kesimpulannya yang tendensius dan tak dilandasi cross check, adalah bagian ketika Aminudin Siregar menggugat fasilitas ruang dan pencahayaan Galeri Oktober yang menurutnya tidak memadai, salah satu alasannya karena galeri seni itu adalah sebuah bangunan bekas rumah tinggal yang fungsinya diubah begitu saja menjadi art gallery. Aminudin Siregar seharusnya mencari tahu sebelumnya bahwa Cemeti Art House yang begitu dipuja-puji itu, dulunya bertahun-tahun dijalankan di sebuah rumah tinggal yang kecil, sempit, dan tak punya ruang parkir yang memadai di Ngadisuryan, Yogyakarta. Sama halnya dengan Galeri Kedai Kebun yang dipujinya selangit itu, dibuat dari sebuah rumah tinggal yang dikonversi, separuh untuk rumah-makan, dan sisanya untuk ruang pajang karya. Gelaran Budaya yang aktif mendinamisasi kehidupan seni di Yogyakarta juga dijalankan di sebuah rumah tinggal biasa kontrakan.

Aminudin Siregar belum melihat kehidupan dan dinamika dunia seni rupa Yogyakarta secara lebih dekat, ia tidak menerapkan pendekatan pemahaman apalagi empati dulu, untuk lebih dulu menyelami keadaan sebenarnya di Yogyakarta dalam rangka menangkap data dan fakta serta atmosfer sebenarnya secara komprehensif dan dalam, sebelum ia membuat distansi untuk penulisannya. Cara pandang dan intensinya terbaca gemuruh, ia jadi terlihat sebagai turis yang dengan kaca-mata marah-marah menonton fenomena yang ada di dalam dan luar Yogyakarta, lalu membabi buta berkomentar.

Sebagai ilustrasi lain, tiga dari beberapa poin kesimpulan Aminudin didasarkan pada tiga tampilan pameran seni lukis yang diselenggarakan di tiga tempat di tiga kota, yaitu: di Galeri Embun (yang baru saja berdiri, tetapi kabarnya dalam proses gulung-tikar) di Yogyakarta sehingga tidak bisa dibuat sebagai sampel yang baik; Galeri Nadi yang berlokasi di Jakarta; dan di Museum H R  Widayat di Kota Mungkid, Jawa Tengah. Kedua kota ini secara administratif tak berkait sama sekali dengan Yogyakarta. Batas apa yang dipakainya?

Selain itu, lantaran dewasa ini banyak kolektor seni yang tertarik pada karya banyak seniman di Yogyakarta, maka dengan serta- merta dunia seni rupa Yogyakarta disamakan dengan dunia pasar seni di Amerika Serikat tahun 1980-an. Pertanyaan penulis tentang ini adalah mengapa Aminudin melihat kasus yang jauh di mata, karena tidak sekalian mengemukakan pula fenomena seni di Indonesia pada dekade 1980-an dan 1990-an yang ‘gegap-gempita’ dengan proyek monumental ketika sejumlah senior/pendidik seni (termasuk yang berdomisili di Bandung) mengerjakan proyek-proyek ‘raksasa’ atau mengenyam berbagai konsesi dalam booming seni (yang barangkali diacu oleh Sanento Yuliman) di bawah rezim Orde Baru? Apakah lalu kita bisa mengatakan bahwa para pewaris edukasi dari para figur utama yang dulu sangat menghamba penguasa itu juga berspirit ‘Pembangunan Orde Baru’? Tidak bisa sepenuhnya begitu. Sebab, ada begitu banyak faktor dan variabel yang berperan dalam menahan rembesan kekuasaan itu.

Pandangan kritis Aminudin Siregar kiranya terlalu terpancang pada pendekatan ekonomik. Seolah-olah seniman yang karyanya terjual, apalagi yang harganya tinggi, itu salah. Pasar seni yang marak dan ramai jadi kelihatan nista. Padahal, banyak seniman seni kontemporer ‘pasar wacana’ yang dari luar kelihatannya jauh berjarak dari pasar seni, namun secara faktual sangat tergantung pada dana-dana dari lembaga-lembaga lain atau patron seni (dalam dan luar negeri) yang diperoleh setelah proses proposal agar proyeknya, perjalanan, serta akomodasinya didanai. Mengapa tidak mempertanyakan pula budaya konsumtif ‘irasional’ (kalau bisa dikatakan begini) dari para pembelinya: ‘Kok mau beli mahal?’.

Jangan melulu menyalahkan seniman. Perlu digarisbawahi yang karyanya terjual mahal bukan cuma para seniman Yogyakarta. Memang benar kekuatan pasar jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan lain sehingga mendominasi wacana seni di Yogyakarta. Tetapi, ada sejumlah aliran seni lain yang juga mengalir subur. Aminudin Siregar hanya sekadar tudang-tuding kiri kanan, dan sekali lagi ironisnya pada saat yang sama melulu menglorifikasi lembaga  (berikut para seniman yang terasosiasi dengannya) yang memang sudah kuat, mapan dengan topangan dana dari berbagai LSM luar negeri. Untuk apa? Yang perlu digarisbawahi, ada cukup banyak kelompok seni di Yogyakarta yang jauh dari mekanisme dan ‘gurita’ pasar seni, serta yang punya resistensi terhadap wacana-wacana seni yang terlalu hegemonik, di antaranya: Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi, ada Apotik Komik, Sanggar Caping, Rumah Seni Keluargatuk, Sanggar Sepi, dan beberapa lainnya. Selain itu terdapat cukup banyak lembaga yang tidak pretensius dalam memamerkan karya-karya dari berbagai wacana, macam Bentara Budaya, Lembaga Indonesia Perancis, Karta Pustaka, Gelaran Budaya yang aktivitasnya cukup mencerdaskan. Sehingga, menimbang tulisannya itu, tidak sukarlah untuk dikatakan bahwa aura tulisan Aminudin Siregar itu terlalu diwarnai dengan sentimen, iri hati, dan kecemburuan. Bukankah ini seperti yang dikuatirkan sendiri dalam tulisannya. Jangan-jangan ini merupakan proyeksi dari kecemburuan dan sikap defensif dia pribadi (sebagai seniman atau bagian dari satu dunia seni yang lain)?

Hal lain yang patut dikritisi adalah pandangan Siregar yang menyalahkan para seniman yang karyanya memang kini sedang ‘laku’. Padahal, dalam realitanya seniman yang karyanya ‘dibeli’ akan lebih mudah menjaga kegairahan kerja karena merasa dihargai. Namun, perlu ditegaskan bahwa membeli tidak harus berarti dilakukan dengan uang tunai atau kredit. Karya dari seorang seniman kontemporer dapat ‘dibeli’ dengan cara diberi tiket ke luar kota/negeri pulang-balik, diberi tunjangan hidup sekadarnya selama berada di sana ketika ikut pameran atau terlibat dalam program artists in residence.

Aminudin tidak memasukkan (memang tidak mau) budaya kompetitif yang kini membentuk atmosfer berkesenian di Yogyakarta. Yang hasilnya akhir-akhir ini banyak seniman dari Yogyakarta yang memenangkan kompetisi seni secara nasional, regional, dan internasional. Ini tak lain adalah dampak langsung maupun tidak langsung dari penerimaan masyarakat yang antusias dan positif, serta (yang terpenting menurut penulis) adanya ruang dan keleluasaan budaya di kota ini untuk menafsirkan dan merepresentasi dunia yang dialaminya secara unik dan berbeda-beda menurut perspektif individual (dalam arti tidak terpancang pada buku-buku teks dan wacana-wacana yang mengglobal).

Yang perlu digarisbawahi juga adalah kenyataan bahwa banyak kolektor seni yang nyatanya juga membaca buku-buku seni rupa, mengikuti wacana seni yang sedang hangat, dan atau yang berkunjung ke museum-museum seni dan melihat event-event seni yang penting di luar negeri. Ini lebih baik ketimbang seniman yang tidak mau keluar dari dunia ideologisnya sendiri, apalagi yang bisanya cuma menyalah- nyalahkan orang atau pihak lain. Berbagai keberhasilan yang ditelurkan oleh dunia seni rupa di Yogyakarta itu tidak mungkin keluar dari kekosongan, atau sebagai sesuatu yang tiba-tiba saja menyembul dari tanah, tetapi tentu saja lahir dari kandungan di mana berbagai wacana seni boleh eksis dan berkembang – baik yang terkonsepsi secara akademik dengan rasionalitas ketat dan terukur, maupun yang lepas-lepas dengan pendekatan intuitif dan imaginatif guna menghayati realita dalam totalitasnya.

Namun demikian, ada pula poin-poin kritis Aminudin Siregar yang mengandung kebenaran, di antaranya bahwa seni lukis memang mendominasi dunia seni rupa di Yogyakarta, terutama kalau dikaitkan dengan fenomena komodifikasi seni yang kini begitu menyeruak ke permukaan dan mewarnai struktur dan perwajahan dunia seni di Yogyakarta.  Tetapi, ini tidak berarti Aminudin Siregar boleh memakai riak dan ekses komodifikasi lukisan itu untuk melegitimasi penyimpulannya bahwa tidak ada pencerdasan di dunia seni rupa (khususnya wacana) kontemporer di Yogyakarta, apalagi untuk membunuh karakter-karakter para seniman yang sedang mengemuka, atau untuk membunuh karakter dunia seni Yogyakarta itu yang nyatanya memang menyediakan keleluasaan ruang bagi berbagai wacana dan budaya.

Selain itu, perlu dipahami secara bersama bahwa cara mencapai kebenaran (di antaranya kebenaran seni) bisa dilakukan secara berbeda-beda: bisa melalui format-format yang disepakati dalam wacana global; bisa dengan pendekatan akademik yang terformat rigid; dapat pula menggunakan pendekatan intuitif dan imajinatif; ada yang dengan pendekatan tradisional dengan skop lokal. Sebab, pada hakikatnya semua masyarakat punya mekanisme survival sendiri, dan dari masyarakat itu akan muncul individu-individu (termasuk seniman) dengan pemikiran dan aksi-aski terobosannya sendiri. Pendekatan wacana secara objektif, konseptual, atau yang kontemporer sebagaimana yang baru saja digulirkan secara global hanyalah salah satu dari berbagai cara pendekatan yang sama-sama bisa dilakukan. Terideologi dengan salah satu wacana saja hanya akan mematahkan potensi-potensi individu dan komunitas.

Kritik penulis untuk tulisan Aminuddin Siregar adalah bahwa pandangannya itu sangat terideologi dengan determinisme ekonomis, dan terkungkung dalam kaca-mata dan mind set seni kontemporer saja, sehingga berbagai aktivitas dan toleransi yang tulus, murni, dan yang menghidupi banyak orang, serta yang merangsang tumbuhnya dinamika budaya tidak mampu dilihatnya.

M Dwi Marianto
Pengamat seni Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta

 

*******

Harian KOMPAS, edisi Minggu, 30 Desember 2001. Halaman: 14

SURAT BUAT UCOK DAN PARA PERUPA DI YOGYA

SEBUAH pameran seni rupa tak ubahnya sebuah pasar, penuh dengan penilaian oleh para pelaku pasar dengan adat yang berterus-terang nyaris vulgar, dan tentu saja sahut-menyahut pemberian harga dalam suasana tawar-menawar yang riuh. Itulah yang terjadi di Yogyakarta baru-baru ini, yang dapat kita baca dalam laporan tulisan oleh Aminudin “Ucok” TH Siregar, yang berjudul Gemuruh Pasar yang Tidak Mencerdaskan (Kompas, 15 Desember 2001). Di tengah-tengah kehebohan dan ketegangan pasar, dapat kita bayangkan Ucok terkekeh-kekeh seakan menemukan sebuah realitas baru yang menggelitik dari “wacana seni rupa Yogyakarta”, kalau bukan sepotong gambaran dari kiat jualan para senimannya yang terkesan “tertangkap basah” olehnya. Pasar dalam nada tulisan itu adalah aib yang menodai atau mengganggu “kesucian” wacana seni rupa.

Saya tak tahan untuk tidak memadukan beberapa keping puzzle dari cerita beberapa kawan yang tertebar di sekitar pameran “Not Just the Political” di Museum H. Widayat, Mungkid, Magelang (10-17 November 2001) yang saya kunjungi di malam terakhir dengan mengetuk pintu keras-keras dalam deras hujan yang mengguyur. Sebagian nama perupa peserta pameran sudah disebutkan dalam tulisan Ucok, masih harus ditambah lagi sejumlah nama yang penting untuk seni rupa kontemporer di Yogyakarta saat ini yang memberi bobot khusus pada pameran: Agung Kurniawan, Agus Suwage, Anusapati, Bunga Jeruk, Entang Wiharso, Handiwirman, Heri Dono, Nyoman Masriadi, Rudi Mantovani dan S Teddy D.

Pengantar pameran itu adalah seorang doktor seni rupa, M Dwi Marianto. Pameran yang seyogianya disiapkan untuk mempresentasikan karya-karya mutakhir seni rupa Yogyakarta kepada sejumlah kurator asing itu berbuah menjadi arena demo melukis, lelang lukisan dadakan serta pembagian “rapot” para seniman oleh kolektor dan art dealer setempat di malam pembukaan. Bagaimana peristiwa itu berlangsung, kiranya kita dapat menunggu pembelaan dari para perupa setelah tanggapan-tanggapan ini bergulir. Reputasi sebuah galeri dengan mengambil nama seorang pelukis kawakan dipertaruhkan juga di sini, para perupanya seyogianya berupaya menulis yang akan berguna untuk mencerahkan pembaca atau “membersihkan” namanya masing-masing dari “aib lelang dan pasar malam” di sebuah pameran bertajuk politis.

Saya tidak tahu apakah Ucok terkesan terlambat menyaksikan pemandangan seperti itu. Tetapi, nada provokasi dalam tulisannya jangan-jangan akan turut membentuk cara kita menonton sebuah pameran seni rupa Yogyakarta setelah ini. Di sebalik mentereng judul-judul pameran berbahasa Inggris yang tertera pada spanduk, di mata kita menjerit sebaris kalimat penjaja tak tertulis: “Selamat datang di pasar seni rupa Yogyakarta”. Waduh!

Benar, dalam bulan-bulan menjelang akhir tahun ini digelar sejumlah pameran yang menarik di Yogyakarta, diresmikan pembukaan dua buah galeri baru seni rupa. Kalau mungkin Anda mengunjungi salah satu galeri itu dan bertanya untuk apa galeri baru dibuat, apa yang akan dipamerkan nanti dan seterusnya, maka Anda akan mendengar jawaban yang kurang memuaskan. Program tidak ada, galeri merupakan tempat untuk berbincang-bincang atau kongko-kongko para seniman. Sebuah kota seni yang harus membayar mahal untuk kongko-kongko  para seniman warganya sesudah kepergian alm. Pak Wongso, pemilik warung teh sampai pagi yang legendaris di pinggiran Yogya langganan para seniman sampai tahun 1980-an.

Jawaban itu akan terdengar ganjil dan terbantah dengan sendirinya jika Anda sempat tinggal selama beberapa hari di Yogya untuk mengunjungi beberapa pameran. Datanglah misalnya ke Rumah Seni Cemeti pada siang yang panas atau menjelang sore hari. Anda tak akan bersua atau sulit beroleh kawan ngobrol yang seru untuk meredakan stres. Suasana akan selalu tampak lengang, bermain di antara khayal kita sendiri tentang ratusan perupa atau pelukis yang sibuk melukis di dalam rumah-rumah kos atau studio-studio mereka yang penuh dengan bentangan kanvas dan belepotan cat.

Sangat terasa bahwa ruang untuk berdiskusi sebenarnya begitu luas, sekaligus begitu kosong, ditinggalkan oleh para perupanya yang agaknya enggan bertandang atau ngobrol di luar forum-forum diskusi yang satu dua diadakan pada penutupan pameran. Mari coba kita simpulkan suasana medan sosial seni rupa di Yogyakarta yang tampak meriah seperti laporan Ucok itu dengan cara yang sederhana. Yakni, sebuah aktivitas atau praktik artistik yang teramat seru artistic hyperdrive yang sungguh tidak sebanding dengan lesunya produksi pikiran yang “hot” dari para senimannya, tanda mampusnya ruang-ruang untuk menjalarkan diskusi seni rupa yang panas. Bisa jadi iklim begini di Yogya berlangsung alamiah sejak lenyapnya poros “Bulaksumur-Malioboro-Gampingan” yang mempertemukan para seniman dari berbagai khazanah di Yogyakarta, atau lenyapnya suasana tak resmi kesenimanan seperti dapat ditemukan pada Galeri SeniSono tahun 1970- an di antara garangnya botol-botol bir.

Kegelisahan Ucok perlahan-lahan merambati juga apa yang sedikit demi sedikit saya amati dan cemaskan. Jika Anda beruntung bisa bertandang ke studio-studio seniman, katakanlah yang paling kontemporer sekalipun maka hampir tidak akan pernah Anda bertemu dengan sejumlah buku, sebuah tanda sederhana bahwa senimannya termasuk tekun dan teliti membaca di samping terampil melihat-lihat dan terus melukis. Rasa penasaran begini bisa menggelembung dan membuat kesimpulan “sembarangan” yang mungkin terlampau sederhana sekaligus berani: medan sosial seni rupa di Yogyakarta yang konon carut-marut akan lebih baik pada satu dekade terakhir ini kalau senimannya sangat aktif membaca dan tekun berwacana dalam lingkaran- lingkaran diskusi dan berdebat apa saja tentang seni rupa kendati tak ada juntrung-nya.

Ya, teramat jarang kita memergoki seorang perupa atau pelukis membaca buku-buku seni rupa di Yogyakarta, selain mengkaji atau menghafal luar kepala idiom-idiom rupa yang sedang up to date. Dapatkah kita mengarahkan mata kita untuk memergoki hal yang sama di dalam kampus seni, salah satu produsen seniman yang masih dianggap penting?

Sekarang harga sebuah buku seni rupa mutakhir tentu sudah jauh lebih murah di mata perupa profesional seusai bergegas pulang dari transaksi yang gencar di pasar lokal. Apakah transformasi pengalaman rupa sejagat (ini era kontemporer bukan?) yang tanda-tandanya dapat kita temukan dalam medan seni rupa kontemporer di Yogyakarta (dan tentunya di mana saja di pusat-pusat seni rupa di Nusantara ini) terjadi hanya pada tataran dan jalan pengenalan, pengalihan, dan pembacaan yang suntuk bahasa visual sehingga para seniman kehilangan kesempatan untuk memproduksi pemikiran mereka sendiri yang cukup “kontemporer”, umpamanya untuk menanggapi heboh dan kelancungan pasar?

Selain itu, ada acara dialog seni interaktif selama setengah jam dalam proyek yang dikelola oleh Yayasan Cemeti di Yogyakarta, disiarkan setiap Jumat malam melalui sebuah gelombang radio FM setempat. Jumlah siarannya sudah lebih dari seratus. Tetapi, sepanjang pengetahuan saya yang pendek, saya hanya memergoki tak lebih dari satu penanya dalam beberapa paket acara yang sudah disiarkan. Selebihnya berisi lagu-lagu.

Kadang-kadang dapat kita dengar sebuah laporan suasana diskusi penuh sesak dengan para perupa di tengah kepulan asap rokok menggulung tebal, tetapi keramaian itu konon tidak memproduksi pertanyaan-pertanyaan yang “menjurus” yang dapat membuyarkan gumpalan kelabu asap sigaret. Itulah gambaran paling umum dalam medan kesenirupaan di Yogyakarta yang dapat ditangkap oleh pengamat dari luar. Para perupa adalah para pencipta dan pembaca rupa yang kelewat tekun, bukan para pemirsa, pendebat dan bukan kelompok masyarakat pembaca teks atau pemburu wacana.

Bagaimana perkembangan seni rupa dapat terjadi jika tak ada diskusi antarperupa, antara perupa dan kritikus atau kurator? tanya seseorang. Dengan kerongkongan tercekik kita menjawab “tidak tahulah”. Pertanyaan dapat menjadi lebih surut: setidaknya praktik seni rupa jenis apa yang terjadi dalam suasana penciptaan sangat aktif begini dan iklim sangat melempem diskusi antar pelaku-pelaku seni rupa?

Akhirnya, judul tulisan Ucok yang merangsang tulisan ini sebaliknya membuat kita merasa lebih linglung, betul-betul seakan ngeloyor dari pameran seni rupa politis yang digenjot oleh demo melukis di atas kanvas seukuran ubin. Bagaimana “pasar” (dan “pasar” yang bagaimana?) dapat mencerdaskan para perupa? Dengan jalan apa? Satu dua art dealer  yang sesekali belanja sejumlah buku dan memaketkannya kepada sang perupa “lokal” pujaan mungkin saja adalah sebuah tanda kecil yang boleh jadi permulaan dari pola relasi mutualis yang baik antara kedua pihak, ketimbang sekadar traktat perdagangan antara seniman dan patron. Kita pernah mendengar cerita begini pada suatu waktu di suatu tempat di antara “gemuruh pasar” bernama Yogyakarta yang ditampar oleh Ucok.

Tapi, mari mengkhayalkan para perupa Indonesia yang paling kontemporer dan punya kesempatan keliling jagat akan menghujani rekan-rekannya dengan buku-buku terbaru dan atau mendiskusikan pemikiran kontemporernya dalam lingkaran-lingkaran kecil seperti warung Pak Wongso almarhum, dulu,  ketimbang sekadar melayangkan selembar postcard, sebatang kuas atau kalender para maestro. Ya, hiduplah wacana seni rupa di Yogyakarta sebelum para seniman “dicerdaskan” oleh pasar. “Talking art-lah!” sesumbar Ucok ketika kami berpapasan di (Bandung) “laboratorium (wacana) Barat”.

Hendro Wiyanto
Kritikus seni rupa

 

*******

Harian KOMPAS, edisi Minggu, 06 Januari 2002. Halaman: 18

RETORIKA POSITIVISTIK  SENI RUPA
(Tanggapan atas Tulisan M Dwi Marianto, Atmosfer Kehidupan Seni di Yogyakarta)

TIDAK perlu berlama-lama di Kota Yogyakarta untuk menuliskan fenomena industri budaya atau lukisannya. Anda atau saya cukup berlagak seperti turis yang sekali ke Borobudur, memotret lalu menerbitkannya sebagai buku. Toh, Anda berhak merasa sok tahu, sejauh Anda sadar bahwa Borobudur adalah candi yang dikunjungi dengan berbagai kepentingan. Anda boleh mengamati stupa tertinggi, relief sisi timur, tangga menuju candi, atau penginapannya saja.

Untuk itu Anda tidak perlu ‘berutang sejarah’ atau dikesankan candi itu membentuk identitas Anda sebagai manusia. Siapa pun boleh kagum, marah, pesimistis, tertawa-tawa, menggerutu, kecewa atau kasihan melihat kondisi fisik bangunan, melihat banyaknya pengunjung candi, lantas mencatat dalam buku harian pariwisata pribadi. Implikasi kabar yang Anda informasikan ke khalayak adalah diskursus. Sebab intensi Anda hanya untuk memecah dominasi bentuk seni tertentu, retorika akademi seni, museum, galeri, pasar, pemerintah, hubungan kritikus dengan seniman-kolektor-art dealer dan sebagainya.

Penjaga candi mungkin sibuk melayani turis, mengabsen pekerja atau menghitung keuntungan. Bisa miris saat penjaga itu gelagapan ditanya, kenapa patung-patung Buddha dijajakan sepanjang trotoar sekitar candi? Anda bakal ngantuk saat penjaga itu mati-matian menganalisa konteks candi dalam gerak budaya kontemporer, seperti juga Anda bakal geleng-geleng kepala melihat praktik melukis ‘surealis’, apa konteksnya di zaman virtual sekarang? Apakah senimannya sulit berkembang, takut mengubah gaya? Boleh juga mengujinya dengan pertanyaan, adakah belakangan ini Anda mengidap kebingungan moral antara ‘nilai guna’ dengan ‘nilai tukar’ seni? Lupa, bahwa sudah lama dunia seni jadi komedi industri?

Tidak perlu juga banyak bertanya ke seniman. Takutnya, Anda geli menemukan betapa miskinnya episteme. Meski seni boleh saja diandaikan dengan kalimat klise; mengandung dimensi ideologi, seni penyadaran sosial-politik-budaya, untuk jeprut, untuk spiritualitas, estetik (untuk dekorasi bangunan) atau terang-terangan sebagai komoditas. Aneh, implikasi teknisnya masih sebatas lukisan. Seni hampir tidak pernah dicari artikulasi ke dalam terminologinya, tapi selalu ditarik keluar dirinya. Sehingga sukar sekali memahami transformasi seni jadi nonrepresentasi, presentasi dari sesuatu yang tidak tergambarkan atau berpikir bagaimana seniman menjadi ‘auratik’ seperti Gilbert and Goerge. Menggerogoti konsep auratik tersebut, melepaskan publisitas dirinya jadi orang biasa, Duchamp yang jadi pemain catur atau Yudi Yudoyoko di Bandung. Seniman tidak perlu diperiksa satu per satu, Anda bisa menilai representasi terakhir karyanya, mengambil contoh logika percepatan seni modern: adakah ‘eksperimentasi artistik’ pernah diteruskan hingga batas ekstrem seni? Anda tidak perlu memberi rasa nyaman ke orang banyak dengan istilah ikhlas, toleransi yang tulus, murni (seni bukan agama!) untuk menganalisa intensi setiap seniman. Nanti Anda kesulitan memahami gejala artistik sebagai proses kultural. Lagi pula, kata seorang Yahudi, kebenaran seni itu (baiknya) tidak berintensi supaya konsep dialektis tidak mesti mengakomodasi realita sosial (materi).

Boleh saja seni dijadikan retorika positivistik (biasanya model khas penelitian Orde Baru): seolah menghargai pluralitas seni, imajinatif, kreatif, membangun bersama dinamika ekonomi-sosiokultur, rasionalitas yang terukur, harus cross checking, terkonsepsi secara akademik, dan lain sebagainya. Sebab orang yang larut dalam retorika positivistik bingung mengukur wacana dengan pertimbangan kebenaran dan ketidakbenarannya. Selalu dalam proses mengandaikan ketepatan ukuran, fakta, norma, standar-standar tertentu, menjauhi asumsi yang sifatnya permukaan, yang dangkal, yang pesimistis dan memimpikan keberaturan.

Biasanya, cara berpikir seperti ini menjanjikan kemajuan- kemajuan, optimisme, harapan-harapan. Tampaknya saja merayakan perbedaan, incommensurability (ketidakcocokan), mengayomi, menawarkan berbagai pendekatan ilmiah tapi sebatas retorika. Karena perkembangan diandaikan tertib, terkendali, terkontrol, berdasarkan kesepakatan lokal-global. Bukan sebagai titik yang terfragmen, diskontinu, paradoksal. Praktik penulisan kritik di katalog pameran pun jadi ‘bunga’ rampai yang menyesatkan publik, memanjakan seniman, seolah memecahkan persoalan. Kritik yang awalnya merupakan pengalaman estetik (seperti seni itu sendiri) berubah jadi ‘nilai tukar’ karena manipulasi mekanisme pasar, diam-diam empiris sambil melegitimasi kebutuhan-kebutuhan palsu di masyarakat. Karena kritikus belum memahami kritik sebagai sistem tanda yang konstruksi kebenarannya selalu labil. Kritik mestinya diasumsikan sebagai bagian yang diperhitungkan pasar, propaganda ideologi atau jadi tujuan komersil kritikus. Bukan untuk dibantah, untuk kita tertawakan bersama.

Mestinya kita tahu, batasan administratif kota adalah soal kekuasaan. Biasa dipakai untuk kepentingan militer. Lagi pula, bukankah selama ini kita sewenang-wenang memakai kode wilayah, mengukur perkembangan seni rupa di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta sebagai representasi seni rupa Indonesia dan dipublikasikan ke mana-mana? Apakah pantas, seni dibatasi wilayah administratif?

Orang yang terbenam dalam kubangan positivistik selalu mengira ada implikasi sosial, ekonomi baik praksis atau epistemologis akibat tulisan seni rupa. Kalau bukan untuk kekuasaan ‘pengetahuan’, paranoid dan uang; buat apa sibuk meralat, cenderung melindungi seni rupa di kota tertentu, menuduh orang lain membunuh pertumbuhan seninya, mematahkan potensi-potensi individu/komunitas dan segenap tuduhan ‘kebakaran jenggot’ yang tidak perlu? Bukankah kekuasaan selalu memakai logika terbalik? Bukankah senantiasa mengandai- andaikan resistensi?

Di Indonesia, Anda pantas berharap seniman terus-menerus membuat ‘simulasi’ artistik (mumpung segala gaya seni telah dilakukan seniman Barat), memainkan kode institusionalnya, menciptakan seni seolah tidak berutang moral atau estetika dengan masyarakat. Anda boleh belajar yakin, seni berutang hanya terhadap pengembangan dirinya sendiri. Jangan buru-buru bergairah, bersyukur, bergembira, optimistis jika yang laris masih seputar kanvas, apalagi berharap banyak ke kompetisi seni rupa. Sebab, salah satu kriteria pasar yang cerdas adalah pasar yang bisa menyulap segala yang diludahkan seniman jadi komoditas, yang berinteraksi, bertransaksi dengan perkembangan pasar seni rupa dunia. Mudah-mudahan nanti, saya atau Anda baru bisa merasakan ‘kecerdasan’ itu kalau tahi-nya seniman sudah dianggap seni lalu diminati art dealer. Untuk itu, simulasi butuh pemilik galeri yang mampu mengakomodasi segala bentuk artistik seniman, punya program tahunan untuk publik umum, sistem kurasi yang cermat, pameran skala lokal-global atau punya jaringan internasional. Tidak terlalu iseng apabila Anda membandingkan Rumah Seni Cemeti atau Galeri Kedai Kebun jadi menonjol dengan galeri lain. Menonjol dalam sebuah perkembangan tak usah buru- buru ditafsirkan hegemonik sambil mencuatkan bentuk hegemoni yang lain. Anda lebih baik berpikir keras bagaimana mendatangkan karya Salvador Dali, Van Gogh, Rene Magritte, Kasimir Malevich, Francis Bacon, Georg Baselitz, Richard Estes, Jasper Johns, Lucio Fontana, Joseph Kosuth, Edward Hopper, Andy Warhol, Gerhard Richter, Kurt Schwitters, Damien Hirst, Carl Andre, atau Robert Ryman, pameran di Indonesia.

Tentu, untuk itu Anda menaruh harap ke galeri yang visi keseniannya lebih jelas. Anda patut gembira, setidaknya program seni internasional menjadikan seni rupa Indonesia dikenal, ketimbang tidak sama sekali atau sibuk tidak karuan mencari orisinalitas di negeri sendiri lalu mengartikan politik kebudayaan secara sempit. Lagi pula untuk apa berlagak resist, kalau berangsur-angsur jadi ‘eksotik’, jadi komoditas lagi? Toh, kini protes sosial lewat seni persis memakai kaus Che Guevara sambil menikmati hidangan McDonald’s. Datar, dingin, disfungsional, kekanakan, dan biasa-biasa saja.

Nah, bagi Anda yang sungguh kolektor, tidak perlu repot-repot ke museum atau galeri di luar negeri kalau memang tidak mampu jadi berita karena membeli karya Van Gogh, menawar Bottle rack-Duchamp, 100% Pure Artist Shit-nya Piero Manzoni, belanja lithographi Edvard Munch, edisi patung Michael Jackson and Bubbles-nya Jeff Koons yang milyaran, Alexander Calder, karya fotonya John Coplans, Thomas Struth, Andreas Gursky, Cindy Sherman atau lukisan fotonya Gerhard Richter. Mahal-mahal memang, dibanding karya pelukis Indonesia. Karya foto Andreas Gursky adalah potret ulang karya Jackson Pollock yang sedang di-display di MoMA New York. Itu saja harga jualnya sekitar 150.000 dollar AS. Tapi, dengan uang Rp 7 juta, Anda sudah bisa memiliki selembar lithographinya Kathe Kollwitz atau A R Penck.

Masih terasa mahal, tapi ingin terlihat cerdas? Beli saja karya air kencingnya David Tarigan, air kaki senimannya Tisna Sanjaya, kopi kaset video art-nya Krisna Murti atau Heri Dono, pakaiannya Tiarma Sirait, patungnya Budi Kustarto, kondenya Nindityo, botol petainya Isa Perkasa, atau batu batanya Gusbarlian. Beritakan di media massa nasional, Anda bakal memukau orang banyak. Tapi, jangan-jangan Anda tidak tahu kalau yang begitu itu adalah juga seni?

Kalau sebagai kolektor duit Anda berlimpah, sebaiknya Anda belanja karya-karya seniman Barat saja. Jangan terganggu komitmen nasional, justru Anda sedang melakukan politik kebudayaan dan ekonomi yang elegan. Perkembangan seni rupa Indonesia rindu kesetaraan global. Seni rupa di sini bakal dilirik dunia kalau ada kolektor yang nekat membeli replika Urinoir-nya Duchamp di Tate Modern, Sun Flowers- nya Van Gogh atau memborong etsa Otto Dix, misalnya. Silakan menunggu bagaimana wajah pasar seni rupa nanti. Lagi pula Anda tidak perlu ngotot ke luar negeri kalau secara visual bisa traveling lewat Internet, berkoresponden dengan kurator museum seni yang Anda sukai, diskusi dengan David Hockney, ziarah ke makam Van Gogh, mengintip harga jual felt suit-Joseph Beuys, ngegosip bareng fans Andy Warhol, menikmati pameran impresionis pertama di tahun 1874, beli suvenir seni modern di MoMA New York, membaca ribuan model kritik seni dari yang seserius orang akademis, pesimistis, asal-asalan, ngeledek, provokatif, kontroversial, sampai nihil. Tapi, untuk kesan intelek, politik identitas yang sempit, berlagak paham seni, sekadar pamer foto ke tetangga, bolehlah sesekali Anda ke luar negeri.

Lama-kelamaan debat seni rupa sebatas lukisan menjenuhkan. Pertama, seni lukis di sini belum bergerak bahkan sampai di tataran konsep atau minimalis. Kedua, lukisan (atau karya dua dimensi lainnya) cenderung dijadikan media yang memiliki kekuatan interpretatif terhadap perkembangan seni rupa Indonesia. Ketiga, kritikus seninya takut dijauhi pasar.

Aminudin TH Siregar
Dosen Seni Rupa ITB



Comments are closed.