‘Arakan Pengantin’ Hendro Wiyanto dan Jim Supangkat (Mei-April 2016)
Majalah mingguan TEMPO, 14 Maret 2016
Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat
Oleh Hendro Wiyanto (Pengamat Seni Rupa)
Pernyataan kurator Jim Supangkat mengenai lukisan-lukisan yang bermasalah di buku The People in 70 Years (Oei Hong Djien Museum, 2016) membikin saya terperangah. Menurut dia, tidak ada kaitan sama sekali antara pameran di Museum OHD ini dan masalah lukisan palsu yang akhir-akhir ini diperdebatkan. Bagi Jim, seorang kurator tidak mungkin memilih lukisan palsu, “Yakin tidak akan terjebak.” Arakan Pengantin karya Sudjojono adalah karya asli. Katanya, “Itu Sudjojono betul. Saya kenal dia 10 tahun terakhirnya” (Tempo, 7-13 Maret 2016, halaman 83).
Pernyataan “standar” seorang kurator pameran lebih-kurang memang akan berbunyi seperti itu. Tujuannya tentu saja untuk mengesankan agar pameran yang dikuratori terkesan tanpa cacat, paripurna. Tapi, percayalah, omongan standar begini malah lebih sering menimbulkan tanda tanya. Apakah benar tidak ada kaitan antara pameran di Museum OHD dan soal lukisan palsu? Kalau di Museum OHD ada sejumlah old master (karyatama) yang berdasarkan sejumlah penelitian diduga palsu, dan sebagian karya yang diseleksi kurator pada pameran “The People” itu bersumber dari museum yang sama, masak bisa dibilang “tidak ada hubungan sama sekali”?
Semestinya Jim paling tidak membaca dulu “Lukisan Palsu dan Kontroversi Sebuah Museum” (rubrik Layar Tempo, 25 Juni-1 Juli 2012) dan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia/PPSI, 2014) mengenai lukisan palsu di Museum OHD dan sindikat pemalsu lukisan. Bahan-bahan itu bisa membantu Jim—sebagai mantan wartawan majalah Tempo—untuk bersikap lebih hati-hati ketika memilih karyatama dari Museum OHD. Nah, kaitannya tentu jelas bahwa sebagian karyatama yang diduga bukan karya otentik itu muncul kembali dalam pameran “The People” yang dikuratori Jim Supangkat.
Boleh jadi Jim memang tidak ingin terjebak, tapi sikapnya yang selalu terlalu percaya diri dan hanya mau mencari hal-hal yang disebutnya “fundamental” dalam seni rupa malah telah menjebaknya karena terkesan mengabaikan sama sekali fakta-fakta sejarah dan hasil investigasi lukisan palsu di Indonesia. Penelitian Aminudin T.H. Siregar dan penelusuran tim penulis buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia secara meyakinkan menunjukkan bahwa sejumlah karyatama yang didaku sebagai karya Sudjojono di Museum OHD memang palsu. Lukisan Arakan Pengantin ditengarai cuma salah satu dari “15 serial pengantin dalam arsip” seorang pelukis berinisial MY, otodidaktik sangat berbakat yang terbiasa membuat lukisan dengan gaya Sudjojono dan Hendra Gunawan (baca Jejak Lukisan Palsu Indonesia halaman 3-26).
Pernyataan Jim Supangkat bahwa ia telah mengenal Sudjojono (1913-1986) dalam 10 tahun terakhir hidup si seniman sama sekali bukan jaminan untuk tidak mungkin keliru. Misalnya pernyataan Jim beberapa tahun lalu mengenai kode “(SS)101” pada lukisan-lukisan Sudjojono. Menurut dia, angka itu adalah “nomor rumah isolasi” atau “nomor kamar penjara” tempat Sindudarmo, ayah Sudjojono, pernah ditahan. Pernyataan itu sudah dibantah oleh kesaksian Tedjabayu, putra pertama Sudjojono, bahwa kode tersebut adalah nomor induk ketika belajar di Theosofische Kweekschool, Lembang, Jawa Barat. Lagi pula Sindudarmo tidak pernah ditahan. Yang ditahan adalah Mbah Maridjem, ibunda Sudjojono, buruh perempuan di perkebunan tembakau, Kisaran, Deli (lihat Surat Pembaca Kompas, 17 Januari 2000, serta buku Sudjojono dan Aku [2006] halaman 344).
Pernyataan bahwa kurator “mustahil” terjebak lukisan palsu, menurut saya, sangat gawat. Belum lama ini seorang “akademikus” seni rupa juga “terjebak” oleh pernyataannya sendiri mengenai lukisan palsu. Sang “akademikus” menyatakan “tidak melegitimasi” lukisan-lukisan palsu dalam sebuah buku mengenai Hendra Gunawan yang terbit pada 2013, yang bagi banyak pengamat seni rupa memuat lukisan-lukisan bodong Hendra Gunawan. Tapi pernyataan “tidak melegitimasi” ini ternyata cuma berarti “tidak bisa campur tangan”, “tidak hati-hati dan serampangan”, atau “tidak menganalisis karya” (lihat Tempo 3-9 Agustus 2015 halaman 55). Seperti halnya Jim Supangkat, pernyataan standar “akademikus” seperti itu terdengar sangat janggal. Lalu di mana bobot “akademikus” atau kurator kalau “tidak menganalisis karya”?
Mudah-mudahan Jim Supangkat belum terlambat untuk belajar lebih bersungguh-sungguh dalam menilik lukisan, yang asli ataupun yang palsu, agar tidak mudah “terjebak”
/////////////////////////////////////////////////
Majalah mingguan TEMPO, 4 April 2016
‘Dua Drama’ Arakan Penganten
Oleh Jim Supangkat (Kurator Seni Rupa)
Memang saya tidak mempedulikan isu lukisan palsu tatkala menyusun The People in 70 Years pada November 2015 di Museum OHD di Magelang, pameran 150 karya bertema sosial (koleksi museum ini) untuk merayakan 70 tahun kemerdekaan Indonesia. Padahal isu lukisan palsu, yang masih dikais sampai sekarang, muncul di Museum OHD ini pada April 2012.
Ketidakpedulian saya mengundang komentar. Dalam kolom “Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat” (Tempo, 14 Maret 2016), Hendro Wiyanto (HW) menyesali sikap saya yang (terlalu) percaya pada mata dan pembacaan saya sendiri. Ia berpendapat, seharusnya saya menggunakan buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia (PPSI, 2014) sebagai referensi.
Pangkal kritik HW terduga. Dalam pameran “The People”, saya menyertakan beberapa lukisan yang diramaikan palsu. Khususnya lukisan Sudjojono, Arakan Penganten (1976), yang ditampilkan pada sampul depan Jejak Lukisan Palsu Indonesia.
Sebetulnya tidak banyak gunanya menghubungkan The People dengan isu lukisan palsu karena publik (seni rupa) bisa menilai sendiri tanpa bimbingan suatu otoritas. Tapi, apa boleh buat, kritik HW dengan pendapat memaksa perlu saya tanggapi dan mari kita lihat duduk perkaranya dengan mengkaji Arakan Penganten sebagai representasi.
Arakan Penganten Sudjojono sama sekali bukan penggambaran upacara tradisional untuk promosi pariwisata. Lukisan ini menampilkan drama sosial yang berpangkal pada perkawinan perempuan di bawah umur: pernah mentradisi di sebuah daerah yang sebaiknya tidak saya sebut namanya. Beberapa dekade lalu berulang kali diberitakan, orang tua di daerah ini mengawinkan anak perempuan mereka yang masih kecil dengan laki-laki dewasa yang berduit. Tersiar juga kabar banyak perempuan di daerah ini menjadi janda pada usia sangat muda karena perceraian mudah diproses. Pada masa itu kesengsaraan perempuan di daerah ini menjadi lengkap ketika janda-janda muda ini menyebar ke berbagai kota besar untuk menjajakan tubuh sebagai pelacur.
Dalam Arakan Penganten, Sudjojono menggambarkan realitas sosial yang muram itu sebagai perkawinan seorang kakek-kakek dengan seorang anak kecil perempuan. Ungkapan ini menunjukkan sikap sinis Sudjojono yang biasanya muncul ketika melihat realitas yang tidak ia sukai. Selain ekspresi sinis, saya merasakan kemarahannya karena saya kenal betul sikap dan perasaan Sudjojono pada anak-anak perempuannya yang bisa dirasakan juga pada banyak lukisannya. Ungkapan ini mencerminkan persepsi seniman (bukan filosof) tentang etika moral.
Cukup banyak lukisan Sudjojono yang menampilkan ungkapan seperti itu. Lukisan-lukisan ini sarat simbol dan sulit diidentifikasi ciri-cirinya karena cenderung menabrak sesukanya kaidah-kaidah melukis dan tidak peduli kebagusan. Amati tanda-tanda ini dengan melihat, antara lain, Cap Go Meh (1940), Punakawan (1971), Mevrouw Senang Ketawa (1978), dan Kepala Gombal (1982).
Arakan Penganten Sudjojono itu diyakini palsu karena ditemukan lukisan palsunya. Alasan ini betul-betul tidak bisa saya pahami; menjadi tidak masuk akal bagi saya karena kedua lukisan yang dianggap palsu menunjukkan perbedaan yang kasatmata.
Pada Arakan Penganten yang diramaikan palsu bisa ditemukan sejumlah simbol. Pengantin laki-laki yang berambut putih dan bertongkat digambarkan menggunakan kacamata baca yang tebal untuk mengukuhkan ketuaannya. Di sekitar mulutnya yang meringis jengah ada corengan warna merah yang menandakan laki-laki uzur ini memakai lipstik. Penggambaran seperti ini sering digunakan Sudjojono untuk menunjuk laki-laki kalangan atas yang genit atau laki-laki penjilat. Sekumpulan anak-anak digambarkan Sudjojono mengelilingi pengantin perempuan. Bahasa tubuh mereka menandakan anak-anak ini masih mengajak pengantin perempuan bermain. Penggambaran ini tanda bahwa pengantin perempuan yang diarak masih anak-anak. Sudjojono semestinya menangkap perilaku anak-anak yang mengharukan ini.
Pada Arakan Penganten yang betul-betul palsu simbol-simbol dramatik seperti itu hilang atau terjungkir-balik. Kumpulan anak-anak yang ditampilkan juga pada lukisan palsu ini digambarkan sedang bermain sendiri dan tidak peduli pada arakan pengantin yang lewat. Pengantin laki-lakinya memakai kacamata hitam yang membuatnya menjadi gagah, bukan tua. Pada mulutnya yang manyun tidak ada gincu.
Setelah wacana lukisan palsu bergulir selama empat tahun, kebedaan dua Arakan Penganten yang kasatmata itu masih tetap “tidak terlihat” juga. Ini kejanggalan dramatik pada kritik seni Indonesia. Kenyataan ini membawa saya ke sebuah pertanyaan untuk HW: apa betul wacana lukisan palsu pada empat tahun terakhir sudah layak dijadikan referensi?